Kemelut pembentukan Badan Riset Nasional (BRIN) – lembaga yang direncanakan akan mengkoordinasi pelaksanaan riset di Indonesia – kembali hangat diperbincangkan.
Keberadaaan BRIN diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek).
Meski ada wacana kuat dari pemerintah untuk menjadikannya lembaga otonom – yang juga ditandai dengan keputusan peleburan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke dalam Kementerian Pendidikan (Kemendikbud) – Peraturan Presiden (Perpres) terkait struktur dan kelembagaannya masih belum jelas bahkan setelah hampir 2 tahun.
Investigasi Koran Tempo minggu lalu, misalnya, menceritakan adanya ketidakjelasan dan komunikasi yang tersendat antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Kemenristek tentang kelembagaan BRIN.
Terhambatnya perpres BRIN menunjukkan minimnya perencanaan yang matang dari pemerintah. Padahal, pembentukan lembaga ini bertujuan menjawab kerisauan Jokowi atas lemahnya pengelolaan hasil riset di Indonesia – terutama dari lembaga yang tersebar di berbagai kementerian dan menggunakan anggaran negara.
Melalui tulisan ini, saya ingin menjelaskan tentang urgensi dari BRIN, tantangan hukum pembentukannya, dan rekomendasi bagi pemerintah untuk mempercepat hadirnya lembaga koordinasi riset tersebut.
Mengapa BRIN harus segera direalisasikan
Pada 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan hanya 43,74% dari total anggaran riset yang benar-benar digunakan untuk kegiatan penelitian. Sisanya digunakan untuk hal lain seperti belanja operasional (30,68%), belanja jasa (13,17%), belanja modal (6,65%), serta belanja pendidikan dan pelatihan (5,77%).
KPK juga menemukan berbagai masalah lain seperti penelitian fiktif, tumpang tindih penelitian, pemotongan dana penelitian sebesar 10%-50%, pemberian dan penggunaan dana penelitian yang tidak sesuai aturan, hingga pengendapan dana penelitian.
Berbagai permasalahan tersebut disebabkan oleh tidak jelasnya pengaturan lembaga penelitian di lingkup pemerintah.
Akhirnya, selain berpotensi membuang anggaran, riset yang dijalankan di banyak kementerian menjadi tumpang tindih, tidak terkoordinasi, dan sulit berkembang.
Kehadiran BRIN akan punya peran strategis dalam menyelesaikan masalah ini karena ia bisa menjadi lembaga induk yang mengkoordinasi pelaksanaan riset dari berbagai badan penelitian di berbagai kementerian, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Keinginan pemerintah untuk membentuk BRIN tidak berjalan mulus dan terganjal masalah peraturan pelaksana yang tidak kunjung dikeluarkan.
Padahal, UU Sisnas Iptek sudah menjelaskan dengan tegas bahwa badan tersebut dibentuk oleh presiden melalui Perpres.
Pengaturan tersebut sebenarnya pernah ditindaklanjuti melalui serangkaian perpres transisi yang membentuk “BRIN sementara” – yang saat ini melekat pada Kemenristek – dan memberikan waktu pada presiden untuk meresmikan versi final dari BRIN.
Namun, kedua perpres transisi yang ada – yakni Perpres No. 74 tahun 2019 dan Perpres No. 95 tahun 2019 – sudah kadaluwarsa.
Sebelum perpres transisi tersebut kadaluwarsa, seharusnya Jokowi menerbitkan perpres baru yang isinya adalah pembentukan BRIN secara resmi. Sayangnya, perpres pamungkas ini tidak kunjung disahkan.
Tidak ada alasan pasti mengapa hal itu terjadi. Selain komunikasi tersendat yang disebutkan sebelumnya, testimoni dari Menristek Bambang Brodjonegoro mengindikasikan penerbitan Perpres ini nampaknya terhadang ketidaksepakatan politik dari beberapa pihak.
Akibatnya, perpres yang kabarnya sudah ditandatangai Jokowi sejak 30 Maret 2020 lalu tidak kunjung ditempatkan di Lembaran Negara oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Merujuk pada UU No. 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perpres setelah ditandatangani harus ditempatkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang mengetahuinya.
Ketiadaan Perpres ini setidaknya memiliki dua dampak terhadap pembentukan BRIN.
Pertama, ini menyebabkan mandat koordinasi penelitian sebagaimana yang diamanatkan UU Sisnas Iptek tidak kunjung berjalan.
Tanpa adanya Perpres, maka BRIN belum secara resmi terbentuk meskipun saat ini namanya sudah melekat pada Kemenristek.
Kedua, secara kelembagaan, ketiadaan Perpres ini menyebabkan “BRIN sementara” di pada Kemenristek saat ini tidak memiliki tujuan dan fungsi yang jelas – karena UU Sisnas Iptek juga belum mengatur secara rinci.
Mendorong percepatan pengesahan BRIN
Wacana terbaru terkait pembentukan BRIN dari pemerintah adalah mendirikannya sebagai lembaga induk riset independen yang terpisah dari Kemenristek.
Menurut saya, memberikan BRIN otonomi sendiri sebagai payung berbagai lembaga riset bisa jadi pilihan yang baik karena koordinasi nasional dalam bidang penelitian dan pengembangan bisa menjadi lebih selaras.
Namun, kita juga tidak boleh mengabaikan kekhawatiran berbagai akademisi tentang potensi pemusatan pembuatan kebijakan riset di BRIN setelah meleburnya Kemenristek ke Kemendikbud. Pemusatan ini memunculkan peluang penyelewengan kekuasaan apabila posisi BRIN sebagai pembuat kebijakan sekaligus pelaksana.
Yang jelas, berbagai perdebatan tersebut jangan sampai membuat perpres mengenai peresmian BRIN semakin tertunda.
Apabila memang perpres BRIN tertahan di salah satu kementerian, Jokowi dapat bertindak lebih tegas dengan memberi teguran keras terhadap bawahannya. Jokowi harus menegaskan kembali bahwa menteri hanyalah pembantu presiden yang tunduk pada visi dan misi presiden.
Impian pembentukan BRIN adalah mengkoordinasi riset yang dilakukan berbagai kementerian dan lembaga, baik di pusat dan daerah.
Tapi, dengan segala dilema yang saat ini muncul ke publik, impian untuk menyatukan visi riset yang sudah sejak lama ini nasibnya bisa semakin terkatung-katung.
Penulis: Antoni Putra