Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan perubahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 pada 30 September lalu. Dalam penetapan tersebut, DPR bersama pemerintah menyepakati penambahan empat rancangan undang-undang, sehingga menambah daftar prolegnas prioritas menjadi 37 rancangan
Dari empat rancangan undang-undang yang ditambahkan tersebut, tiga di antaranya merupakan usulan pemerintah, yakni rancangan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta rancangan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Satu rancangan lain, yakni rancangan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, menjadi usulan DPR.
Penetapan perubahan itu mengandung setidaknya empat masalah. Pertama, waktu evaluasi dan penetapan perubahan terjadi menjelang penutupan tahun. Tiga bulan lagi tahun 2021 akan berakhir. Keputusan DPR dan pemerintah tersebut patut dipertanyakan karena dalam waktu yang tersisa ini mereka memilih untuk menetapkan perubahan Prolegnas 2021 ketimbang menyusun dan menetapkan Prolegnas Prioritas 2022.
Secara yuridis, batas waktu untuk menyusun dan menetapkan prolegnas prioritas untuk tahun 2022 tinggal sebentar lagi. Menurut Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan dan penetapan prolegnas prioritas tahunan dilakukan setiap tahun sebelum penetapan rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut Undang-Undang Keuangan Negara, penetapan rancangan Undang-Undang APBN dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan, sehingga pada akhir Oktober ini rancangan itu sudah harus disahkan. Dengan demikian, prolegnas prioritas sudah harus disahkan sebelum 31 Oktober. Kedua, penetapan perubahan prolegnas ini berpotensi melanggar undang-undang yang mengatur tentang waktu penetapan prolegnas prioritas tahunan. Hal ini tentu akan semakin menurunkan kewibawaan prolegnas sebagai dokumen perencanaan yang menjadi rujukan dalam kinerja DPR dan pemerintah.
Dalam catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dalam tujuh tahun terakhir, hanya satu kali DPR dan pemerintah mengesahkan prolegnas prioritas tahunan secara tepat waktu, yaitu penetapan Prolegnas 2019 yang disahkan pada 31 Oktober 2018. Penetapan pada enam tahun lainnya meleset dan bahkan empat tahun di antaranya disahkan pada tahun berjalan, yaitu Prolegnas 2015 yang disahkan pada 9 Februari 2015, Prolegnas 2016 yang disahkan pada 26 Januari 2016, Prolegnas 2020 yang disahkan pada 16 Januari 2020, dan Prolegnas 2021 yang ditetapkan pada 23 Maret 2021.
Ketiga, jumlah rancangan undang-undang dalam daftar perubahan prolegnas tahun ini masih terlalu ambisius untuk mungkin dicapai pada tahun ini. DPR dan pemerintah tidak belajar dari pengalaman sebelumnya dan tidak mengukur kemampuan dalam membentuk undang-undang. Alih-alih melakukan koreksi atas beban prolegnas, DPR dan pemerintah kini justru menambah beban dengan memasukkan empat rancangan tambahan.
Dalam enam tahun terakhir, capaian kinerja DPR dalam mengesahkan rancangan undang-undang dari daftar prolegnas prioritas selalu jauh dari target. PSHK mencatat, capaian tertinggi terjadi pada 2019, yakni dengan mengesahkan 14 dari total 55 rancangan undang-undang. Capaian itu pun diwarnai dengan proses legislasi yang buruk karena sebagian besar pengesahan dilakukan dalam waktu singkat, minim partisipasi, dan dilakukan di pengujung masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019. Adapun untuk lima tahun lainnya, secara berturut-turut DPR dan pemerintah hanya meloloskan 3 dari 40 rancangan undang-undang pada 2015, 10 dari 50 rancangan pada 2016, 6 dari 52 rancangan pada 2017, 5 dari 50 rancangan pada 2018, dan 3 dari 37 rancangan pada 2020.
Adapun pada tahun ini, sejak pengesahan Prolegnas 2021, DPR bersama pemerintah baru meloloskan satu rancangan, yakni revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Sisanya baru masuk ke tahap pembahasan (12 rancangan), penetapan usul (6 rancangan), harmonisasi (1 rancangan), penyusunan (8 rancangan), dan bahkan ada enam rancangan yang masih sebatas terdaftar.
Keempat, urgensi rancangan undang-undang tambahan juga patut dipertanyakan. Dari keempat rancangan tersebut, hanya revisi yang memang perlu dibahas karena adanya pasal-pasal karet yang terbukti menjadi alat untuk kriminalisasi dan membungkam kritik dan kebebasan berpendapat. Adapun urgensi tiga rancangan lain kurang jelas. Bahkan dua di antaranya, yaitu revisi dan revisi Undang-Undang Permasyarakatan, mendapat kritik dan penolakan dari masyarakat.
Berdasarkan empat hal di atas, jelas bahwa langkah DPR dan pemerintah dalam mengubah Prolegnas 2021 adalah langkah yang keliru. DPR dan pemerintah seharusnya memprioritaskan penyusunan dan penetapan Prolegnas 2022 dengan baik agar tidak kembali memunculkan persoalan dalam pembentukan undang-undang pada tahun depan. Selain itu, DPR dan pemerintah seharusnya berfokus untuk membahas rancangan yang sebelumnya telah diprioritaskan.
Penulis: Antoni Putra