Sub-Pokja C20 untuk Ruang Gerak Masyarakat Sipil atau C20 Civic Space Sub-Working Group menyelenggarakan “Lokakarya Resiliensi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Civic Space: Pengalaman Bali” pada 3-4 Oktober 2022 di Sanur, Bali. Kegiatan ini melibatkan 19 peserta dari berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS) dan universitas di Bali untuk berbagi pengalaman mengenai pelindungan dan perluasan ruang gerak masyarakat sipil atau civic space di Indonesia.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Auditya Firza Saputra yang menjadi salah satu pemateri, menjelaskan bahwa civic space merupakan infrastruktur sosial yang memungkinkan masyarakat berfungsi dan berpartisipasi dalam pembangunan. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir terjadi tren penyempitan ruang gerak masyarakat sipil atau shrinking civic space. Tren ini muncul, antara lain, karena pandemi Covid-19 memberi celah atas terjadinya pelanggaran hak-hak sipil dan politik serta pendekatan kekerasan yang digunakan negara dalam mengamankan ruang ekspresi masyarakat.
“Dari dua puluh negara G20, hanya dua negara yang memiliki civic space terbuka, yaitu Jerman dan Kanada. Sisanya, masuk dalam kategori terhalang, terepresi, dan tertutup,” ungkap Auditya.
Ia juga menuturkan terdapat beberapa peluang untuk mendorong pelindungan dan perluasan civic space seperti meningkatnya kritisisme warganet dan tren aktivisme digital, terbukanya kolaborasi aktif OMS dan sektor privat dalam meningkatkan kepatuhan bisnis terhadap HAM, dan munculnya kolaborasi dalam berbagai riset serta perumusan kebijakan.
Riza Imaduddin Abdali, Civic Freedom Officer YAPPIKA-ActionAid, menuturkan kondisi lingkungan pendukung bagi OMS di Indonesia mengalami berbagai problem mendasar seperti pengawasan, pembatasan, dan pelarangan melalui berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan seperti UU Ormas dan aturan turunannya; UU ITE; dan KUHP pada pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, dan pasal makar. “Temuan YAPPIKA-ActionAid memperlihatkan bahwa terdapat 804 peristiwa implementasi UU Ormas dengan 1.115 jenis tindakan yang melanggar dan/atau membatasi hak atas kebebasan berorganisasi,” ungkap Riza.
Menurutnya, OMS perlu diperkuat dengan cara mengeliminasi hambatan, mendukung, serta memfasilitasi akses sumber daya, dan peningkatan kapasitas OMS tanpa dibebankan dengan kewajiban yang tidak perlu. Aktor OMS juga perlu dilindungi dari kekerasan dan judicial harassment karena terdapat peningkatan kriminalisasi, stigmatisasi, dan represi terhadap aktor OMS. Sepanjang 2021, temuan SAFEnet memperlihatkan setidaknya terdapat 30 kasus pemidanaan dengan total 38 korban kriminalisasi dengan latar belakang aktivis sebanyak 26,3%; korban kekerasan dan pendampingnya sebesar 21,1%; dan warga sebanyak 18,4%.
Peneliti PSHK, Alviani Sabillah membagikan pengalamannya, sebagai salah satu pendiri Paramedis Jalanan, dalam berbagai aksi demonstrasi sejak 2019 lalu. Ia menjelaskan, Paramedis Jalanan merupakan suatu upaya untuk menekan potensi jatuhnya korban akibat kekerasan aparat dalam penanganan aksi unjuk rasa. Dalam berbagai aksi demonstrasi, utamanya yang melibatkan mahasiswa, kumpulan relawan ini bertugas menentukan lokasi posko medis, menangani kasus yang terjadi di lapangan, memberikan pembekalan bagi relawan medis, dan menyiapkan alat-alat kesehatan yang dibutuhkan.
Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Chenny Wongkar menyampaikan materi mengenai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) atau gugatan strategis terhadap partisipasi publik dan strategi menghadapinya. SLAPP adalah upaya serangan melalui jalur dan instrumen hukum terhadap orang-orang yang memperjuangkan dan membela kepentingan publik dengan tujuan untuk mengalihkan konflik, fokus, dan isu yang tengah ditangani.
Menurut Chenny, kasus SLAPP terdiri dari beberapa kriteria, antara lain pertama SLAPP dapat berupa gugatan perdata atau gugatan balik atas kerugian moneter dan/atau perintah melakukan perbuatan tertentu. Kedua, ditujukan kepada individu atau organisasi non-pemerintah. Ketiga, gugatan muncul dalam kaitannya dengan permasalahan kepentingan publik. Keempat, gugatan diajukan tanpa dasar yang kuat dan mengandung motif politik atau ekonomi yang tersembunyi.
Chenny juga membagikan beberapa strategi menghadapi SLAPP, mulai dari upaya pencegahan, non-litigasi, hingga langkah hukum perdata maupun pidana. Contohnya adalah dengan melakukan aksi perjuangan secara damai, melaporkan pelanggaran etika aparat penegak hukum, serta menggunakan narasi SLAPP dalam proses peradilan perdata dan pidana.
Tak ketinggalan, para peserta juga membagikan beberapa strategi yang efektif untuk mengatasi SLAPP, seperti membekali diri dengan pengetahuan tentang hak-hak partisipasi publik dan regulasi mengenai penyampaian pendapat di muka umum, menyusun pangkalan data yang berisi daftar ahli yang berpihak pada kepentingan publik, serta menjalin kemitraan dengan lembaga bantuan hukum ketika melaksanakan kerja-kerja advokasi yang memiliki risiko tinggi.
Dalam sesi diskusi, para peserta berbagi mengenai hambatan dalam menjalankan kerja-kerja advokasi di Bali, seperti meningkatnya kekerasan dari aparat, sulitnya membentuk serikat buruh karena terganjal izin dari perusahaan dan Dinas Tenaga Kerja, hingga penggunaan unsur adat seperti pecalang dalam melarang pelaksanaan hak kebebasan berkumpul dan berekspresi. Sejumlah peserta berlatar belakang mahasiswa turut membagikan pengalaman serupa, seperti pembubaran aktivitas organisasi kemahasiswaan oleh satpam kampus, pengurangan dana organisasi kemahasiswaan, hingga ancaman pencabutan beasiswa bagi mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan advokasi tertentu.
Deputi Direktur Jejaring Masyarakat Sipil Yayasan Penabulu, Maria Anik Tunjung Wusari menyampaikan materi perihal dukungan bagi keberlanjutan agenda OMS di Indonesia. Menurut Anik, salah satu tantangan terbesar di Indonesia adalah belum adanya sumber dana alternatif yang terbangun dengan baik untuk mendukung keberlanjutan OMS. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mewujudkan sumber pendanaan OMS lewat infrastruktur kebijakan pendanaan seperti dana abadi dan forum kolaborasi filantropi lintas sektor.
Bagi para peserta, lokakarya ini bermanfaat karena berhasil menambah perspektif baru mengenai ruang gerak masyarakat sipil, keberlanjutan agenda OMS, dan menjadi kesempatan berharga untuk berjejaring dan mendukung agenda kerja satu sama lain.
C20 Civic Space Sub-Working Group didukung oleh 157 individu dan organisasi masyarakat sipil dengan PSHK sebagai Chair dan YAPPIKA-ActionAid bersama Yayasan Penabulu sebagai Co-Chair. Dalam forum C20 Summit yang diselenggarakan pada 5-7 Oktober 2022, sub-pokja ini mendorong sejumlah rekomendasi untuk disampaikan kepada negara-negara G20. Rekomendasi itu mencakup dorongan untuk melindungi dan memperluas ruang gerak masyarakat sipil; menghentikan kriminalisasi, stigmatisasi, dan serangan terhadap aktor masyarakat sipil; serta membangun dan memperkuat kolaborasi dengan masyarakat sipil dalam pengembangan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Rekomendasi lengkap dapat diunduh di sini.