Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril terkait kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Putusan ini memperkuat vonis pengadilan sebelumnya, yakni putusan pada tingkat kasasi yang menghukum mantan guru honorer di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 7 Mataram itu enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsidier tiga bulan kurungan. Putusan ini menegaskan putusan kasasi MA No. 574K/Pid.Sus/2018.
Setelah MA menolak permohonan PK yang diajukan Baiq Nuril, desakan agar presiden memberikan amnesti pun mencuat. Setelah PK ditolak MA, amnesti adalah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk membebaskan Baiq Nuril dari jeratan hukum. Namun, pemberian amnesti tersebut tidak serta merta dapat dilakukan oleh presiden, perlu pertimbangan dari beberapa pihak terlebih dahulu. Kewenangan untuk memberikan amnesti tersebut tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang Undang Dasar 1945. Dalam kasus Baiq Nuril, presiden perlu mendengar masukan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum memutuskan memberikan amnesti tersebut.
Kasus Baiq Nuril tersebut bermula ketika ia mendapatkan pelecehan verbal oleh atasannya, yang tak lain adalah kepala sekolah tempat ia bekerja. Peristiwa itu terjadi pada 2012. Sang kepala sekolah mulai melecehkannya dengan menceritakan hubungan badannya dengan salah seorang wanita yang juga dikenalnya. Paham bahwa dirinya dilecehkan, ia berinisiatif merekam percakapannya tersebut via telepon genggam. Malang baginya, rekaman tersebut menyebar dan kemudian dipermasalahkan oleh sang kepala sekolah. Ia dinilai telah melanggar Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat 1 UU No. 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Permasalahan Baiq Nuril sejatinya dapat dilihat dari dua prespektif, yakni penegakkan hukum untuk menjalankan undang-undang dan penegakkan hukum untuk menegakkan keadilan. Dilihat dari prespektif undang-undang, vonis yang dijatuhkan hakim tidaklah salah, sebab ketentuan yang ada memang menyatakan bahwa Baiq Nuril harus dihukukum. Dalam hal ini, hakim dalam menjatuhkan vonis tersebut adalah semata-mata untuk menegakkan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan asas legalitas yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa”Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Asas tersebut merupakan acuan yang mendasar dalam menerapkan hukum pidana atau biasa juga disebutkan sebagai pedoman dan jantung dalam hukum pidana
Apabila dilihat dari prespektif keadilan, putusan tersebut telah merusak keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sebagaimana teori hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, hukum itu seharusnya berkualitas sebagai ilmu yang senantiasa mengalami pembentukan, bergerak kearah pembebasan karena ia bersifat cair dan senantiasa bergerak dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya. Dalam hal ini, bagi seorang hakim, hukum progresif bertumpu pada keyakinan hakim, di mana ia tidak terbelenggu pada rumusan Undang-Undang. Menggunakan hukum progresif, berarti seorang hakim harus berani mencari dan memberikan keadilan dengan memutuskan berdasarkan rasa adil itu sendiri, bukan terpaku pada undang-undang.
Namun dalam kasus Baiq Nuril, hal itu tidak terlihat. Hakim hanya terpaku pada undang-undang, walaupun UU ITE yang menjadi dasar penjatuhan vonis nyata melukai rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, serta ditentang oleh banyak orang, hakim tetap menyatakan Biq Nuril harus dipenjara.
Permasalahan Regulasi
Kasus Baiq Nuril sejatinya adalah sedikit dari permasalahan regulasi yang belum selesai. Permasalahan ini muncul sebagai akibat dari proses pembentukan yang tidak sempurna. Fungsi monitoring dan evaluasi tidak berjalan dengan baik sehingga produk hukum yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.
Hal ini disebabkan karena tidak ada otoritas/lembaga yang benar-benar kuat yang menjalankan tugas monitoring dan evaluasi. Sebenarnya kita memiliki Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Direktorat Peraturan Perundang-Undangan (Dirjen PP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang menjalankan fungsi tersebut, namun karena kedua lembaga itu tidak memiliki legitimasi yang kuat, fungsinya dalam monitoring dan evaluasi tidak berjalan dengan baik.
Dalam penyusunan naskah akademik yang menjadi persyaratan pembentukan undang-undang juga tidak dilakukan dengan baik. Materi muatan yang terdapat di dalamnya hanya semata-mata untuk memenuhi persyaratan formil, sehingga subtansinya tidak menjawab pertanyaan mengapa undang-undang tersebut dibentuk. Bahkan, kita sering menemui dalam pembentukan suatu undang-undang, setelah darafnya selesai, baru proses penelitian untuk menyusun naskah akademik dilakukan.
Tidak hanya pada level Undang-Undang, permasalahan serupa juga terjadi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada di bawah undang-undang. Bahkan permaslaahannya lebih pelik, karena sering diwarnai oleh konflik kepentingan antar lembaga dan tumpang tindih kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sebagai catatan, Pada 23 Agustus 2018 Menkumham mengeluarkan Permenkumham No. 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisan Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang Dibentuk di Daerah oleh Perancang, dan Permenkumham No. 23 Tahun 2018 tentang Pengharmonisan Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, atau Rancangan Peraturan Lembaga Nonstruktural oleh Perancang. Kedua peraturan ini mewajibkan pengharmonisasian terhadap setiap rancangan peraturan instansi pemerintahan daerah (pemda) dan pemerintah pusat kepada Kanwil Kemenkumham atau Kemenkumham melalui Ditjen PP yang dilakukan oleh perancang.
Namun, keberadaan dua peraturan tersebut digugat oleh Mendagri Pada 19 September 2018 dengan mengirim surat pada Menkumham agar mencabut kedua permenkumham tersebut. Mendagri menilai muatan dari dua Permenkumham tersebut telah jauh melenceng, yakni dengan mengatur persoalan yang ada di luar kewenangannya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, wajara bila kemudian banyak terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak memihak kepada keadilan. Termasuk salah satunya UU ITE yang menjerat Baiq Nuril. Agar kasus seperti yang menimpa Baiq Nuril tidak terjadi lagi, kita perlu membentuk sebuah badan yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan, baik yang akan dan sudah dibentuk. Badan tersebut nantinya bertugas melakukan pengkajian apakah peraturan perundang-undangan yang ada dan akan dibentuk sudah sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Apabila ditemukan pertentangan dengan kebutuhan hukum masyarakat, maka peraturan perundang-undangan tersebut harus dicabut, atau pembahasannya tidak dapat dilanjutkan.
Tautan Sumber: http://www.indonesiana.id/read/134130/baid-nuril-dan-masalah-regulasi-yang-belum-selesai
Terbit pada: 23 Juli 2019