Sepanjang 2020, terdapat tiga belas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan oleh DPR. Dari ketiga belas RUU yang disahkan, hanya terdapat tiga RUU prioritas yang telah disahkan, yaitu UU Bea Materai, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Padahal, RUU yang diprioritaskan oleh DPR dan Pemerintah adalah sebanyak 37 RUU.
Pembentukan UU pada periode ini dianggap sangat tidak transparan dan tidak inklusif sehingga menuai banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat, mulai dari proses pembentukan hingga pengesahan. Setidaknya terdapat beberapa UU yang disahkan pada tahun ini dan langsung diujikan ke Mahkamah Konstitusi seperti UU Cipta Kerja, UU MK, UU Minerba dan UU Keuangan Negara untuk Covid.
Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M. Syarif menyampaikan bahwa secara empiris telah terjadi penurunan kualitas demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari adanya pembuatan UU yang sangat cepat dan eksklusif yang sampai saat ini masih bermasalah.
“Karena ini juga berkaitan dengan disabilitas, kita berharap UU yang dibuat oleh DPR banyak mendengarkan teman-teman dari disabilitas atau penggiat yang bergelut dalam isu-isu disabilitas”, ungkapnya.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi bertema “Mendorong Inklusivitas Penyusunan Legislasi dalam Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh KoDe Inisiatif dan Kemitraan pada pada Jumat (4/12/2020).
Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif, Violla Reininda juga memaparkan bahwa dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 terdapat sekitar 248 RUU. Adapun kategori terbanyak ada di sektor hukum ekonomi dan bisnis dengan 33 RUU. Menurutnya, hal ini memperlihatkan orientasi pemerintahan yang lebih menitikberatkan pada sektor ekonomi dan bisnis.
Sementara itu, Anggota Badan Legislasi DPR RI, Willy Aditya menyampaikan bahwa dalam proses sidang di DPR, khususnya di Badan Legislasi, selalu dilakukan secara terbuka untuk umum dan dapat diakses oleh publik melalui akun media sosial DPR seperti Facebook, YouTube, dan TV Parlemen.
Terkait dengan UU Cipta Kerja, Willy menuturkan DPR telah membuka ruang partisipasi selama enam minggu sejak 18 April hingga 21 Mei. Willy menekankan bahwa terkait dengan inklusivitas harus ada kerjasama antara DPR dan masyarakat sipil karena seluruh aspirasi dari masyarakat telah didengarkan, akan tetapi terdapat banyak fraksi di DPR sehingga memerlukan diskusi agar aspirasi masyarakat dapat diakomodir dalam sebuah kebijakan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Estu Dyah Arifianti memberikan beberapa catatan terkait dengan proses pembentukan legislasi yang inklusif. Pertama, terkait dengan evaluasi proses legislasi dari segi perencanaan yang dinilai tidak ada harmonisasi antara perencanaan pembangunan dengan perencanaan legislasi yang berakibat pada pemborosan regulasi dan tumpang tindih peraturan. Perencanaan pembangunan membutuhkan sebuah kerangka hukum dan perencanaan legislasi juga membutuhkan arah sehingga regulasi yang disusun dapat mencapai tujuan yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Nasional. Kemudian dari segi jumlah RUU prioritas tahunan yang tidak realistis serta adanya ketidakjelasan standar penentuan RUU Prioritas.
Kedua, terkait dengan efisiensi dan transparansi dalam legislasi yang dapat diukur dengan beberapa indikator seperti kecepatan dan perencanaan, adanya konsultasi, penggunaan teknologi dan informasi, keterbukaan dan informasi, serta keterlibatan dan partisipasi publik.
Ketiga, terkait dengan pelibatan publik dalam mengawal legislasi yang inklusif yang mana seharusnya sejak perencanaan prolegnas harus ada peran legislator untuk menginformasikan dan memunculkan keterlibatan masyarakat.
Lebih lanjut lagi, Estu menyampaikan bahwa kebutuhan masyarakatlah yang seharusnya menjadi indikator yang diturunkan oleh Badan Legislasi dalam penyusunan prolegnas.
Diskusi yang dimoderatori oleh Rahmah Mutiara, Peneliti KoDe Inisiatif ini dapat disaksikan ulang di kanal YouTube KoDe Inisiatif. (Kris Ninawati Hanapi)