Pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan praktik buruk pembentukan regulasi yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Selain UU Cipta Kerja, terdapat beberapa UU lain yang dibahas dalam waktu yang sangat singkat, yaitu Perubahan UU KPK, Perubahan UU MK, dan Perubahan UU Minerba.
Menurut peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Rizky Argama terdapat dua aspek yang harus dipenuhi untuk mewujudkan legislasi yang berkualitas, yaitu aspek proses dan aspek substansi. Aspek proses meliputi beberapa elemen, yaitu proses pembentukan UU harus terbuka dan mudah diakses; melibatkan pemangku kepentingan yang representatif; dan ketaatan pada prosedur penyusunan UU yang berlaku.
Sementara itu, aspek substansi meliputi beberapa hal, seperti materi pengaturan UU harus memperhatikan beberapa prinsip dasar seperti hak asasi manusia, kelestarian lingkungan, good governance, antikorupsi, dan perhatian terhadap kelompok rentan, harmonisasi terhadap konstitusi dan UU lain, potensi masalah yang muncul dari UU yang akan disahkan, serta ketentuan pidana; struktur dan kalimat UU harus mudah dipahami; dan format penyusunan UU tidak bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Lebih lanjut, Rizky Argama juga menyampaikan bahwa terdapat beberapa problem regulasi yang dihadapi sistem hukum Indonesia saat ini, yaitu jumlah regulasi terlalu banyak atau hiper-regulasi, perencanaan pembangunan tidak sinkron dengan perencanaan regulasi, materi muatan sering tidak sesuai dengan bentuk peraturan, tidak ada mekanisme monitoring dan evaluasi yang terlembaga, dan tidak ada otoritas tunggal yang berwenang dalam pengelolaan regulasi.
“Problem regulasi tersebut merupakan masalah laten di dalam sistem hukum Indonesia saat ini, dan yang berkontribusi atas masalah ini tidak hanya UU, tapi juga Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, ataupun Peraturan Daerah. Regulasi Indonesia seperti rimba belantara, sangat kusut, dan carut marut,” ujar Rizky Argama.
Untuk memperluas ruang partisipasi publik dalam proses legislasi, Rizky Argama menilai DPR perlu memastikan sarana komunikasi dan penyerapan aspirasi yang inklusif, dapat diakses penyandang disabilitas; DPR harus kreatif dan inovatif mengoptimalkan kanal-kanal aspirasi: Rumah Aspirasi, forum publik di luar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), media sosial, nomor pribadi anggota, dsb; DPR adalah mitra penyeimbang, bukan lembaga stempel kebijakan eksekutif; dan fungsi utama DPR adalah representasi yang mencakup legislasi, pengawasan, dan anggaran.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi daring bertema “Kinerja DPR, Berdasarkan Suara Siapa?” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran pada Kamis (3/12/20). Hadir narasumber lain dalam diskusi tersebut adalah Anggota DPR Komisi IX, Intan Fauzi dan pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran, Dede Sri Kartini.
Diskusi tersebut juga dapat disaksikan ulang di kanal Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD.