Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2013, perkara pelanggaran lalu lintas (tilang) merupakan jenis perkara terbesar, yaitu 3.214.119 atau 96,40% dari 3.386.149 perkara pidana selama 2013. Jumlah perkara tilang pada 2012 juga besar, yaitu 3.282.032 perkara atau 96,51% dari keseluruhan perkara pidana sebesar 3.400.727 perkara.
Bisa dibayangkan, jika sekitar 3 juta orang pelanggar tersebut harus menempuh sidang tilang setiap tahunnya menemui pengalaman buruk di Pengadilan, setidaknya terdapat 3 juta persepsi negatif yang berkembang di masyarakat mengenai Pengadilan. Harus diakui bahwa persepsi tentang pengadilan yang ditemui pada sidang perkara tilang bisa dengan mudah menyebar ke kelompok masyarakat yang lebih luas.
Berkaca dari berbagai pemberitaan media massa yang ada selama ini, tidak sedikit keluhan dan persepsi negatif terhadap pengadilan yang muncul dari sidang perkara tilang. Dari sebuah artikel koran, pernah diberitakan bahwa seorang petugas Pengadilan Negeri bersikap tidak sopan kepada pengurus surat tilang karena kelelahan mengurus sidang tilang seharian penuh (Harian Waspada, 25 November 2011). Kondisi pelayanan pengadilan dalam perkara tilang diperburuk dengan menjamurnya calo kasus-kasus tilang.
Data Survei integritas pelayanan publik yang diselenggarakan KPK pada 2012 juga menyatakan bahwa sidang tilang di seluruh PN di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Palu dikelola di bawah standar. Temuan ini diperkuat oleh Ketua MA 2009—2012, Harifin A. Tumpa, yang mengeluhkan volume kerja dari perkara tilang sangat besar sebagai penyebabnya; yang pada akhirnya membuat banyak pengadilan kewalahan. Sumber daya pengadilan banyak tersedot oleh perkara tilang, padahal perkaranya sendiri bersifat sederhana atau sumir.
Dalam menyikapi keadaan di atas, beberapa opsi solusi sempat diusulkan oleh berbagai pihak. Pertama, keinginan untuk mempertahankan beban kerja perkara tilang di pengadilan, tetapi dengan perbaikan-perbaikan tertentu dalam penyelenggaraannya. Kedua, mengeluarkan atau mengurangi perkara tilang dari beban kerja pengadilan, khususnya bagi perkara di mana pelanggar mengakui kesalahannya (uncontested cases).
Beban kerja pengadilan yang terlalu besar di perkara tilang yang sumir akan menjadi disinsentif bagi hakim, panitera, dan staf pengadilan lain untuk berfokus meningkatkan kualitas kerjanya (lewat putusan yang konsisten dan argumentatif) saat menangani perkara-perkara substansial yang lebih luas dampaknya bagi masyarakat. Perkara tilang selama ini menjadikan konsentrasi dan sumber daya pengadilan terlalu banyak tersedot oleh urusan yang sederhana.
Kondisi tersebut mendorong Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (Puslitbang MA) bersama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) melaksanakan Penelitian Alternatif Pengelolaan Perkara Tilang di Pengadilan. Penelitian itu bertujuan antara lain mengindentifkasi kendala yang dihadapi pengadilan dalam menyelenggarakan sidang tilang dan merumuskan rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung untuk melakukan perbaikan dalam pelaksanaan sidang tilang.
Penelitian dilakukan dalam kurun waktu Oktober 2013 sampai dengan Juni 2014. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran literatur, observasi, dan wawancara mendalam. Lokasi observasi dan pengumpulan data wawancara meliputi PN Medan dan PN Binjai, PN Jakarta Timur, PN Surabaya, PN Ternate dan PN Palu. Selain itu, tim peneliti—yang merupakan gabungan antara peneliti PSHK dan peneliti Puslitbang—juga mengadakan focus group discussion untuk melakukan konfirmasi dan pendalaman terhadap data yang sudah diperoleh. Setelah menyelesaikan rancangan laporan penelitian pada 14 Mei 2014, tim peneliti mengadakan audiensi dengan Ketua MA dan Pimpinan MA untuk melaporkan dan mengkonsultasikan hasil penelitian. Audiensi itu ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan seminar pada 17 Juni 2014.