Narasi autocratic legalism, atau kesewenang-wenangan berbalut instrumen legal, belakangan kerap disematkan pada polah penguasa dalam membentuk kebijakan negara ini. Berbagai produk legislasi dibentuk sebatas mengejar target capaian, mengandalkan beragam partisipasi basa-basi, serta absen dalam melibatkan kelompok terdampak. Pembentuk undang-undang berkilah bahwa seluruh proses telah sesuai aturan, meskipun dalam kenyataannya abai terhadap prinsip negara hukum.
Pengambilan kebijakan yang serba instan dan meminggirkan kritik terkesan hanya bertujuan melayani keinginan penguasa dan pemilik modal; bukan didasarkan pada bukti-bukti mengenai persoalan yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Gejala ini tak hanya menandakan maraknya para pengambil kebijakan yang miskin perspektif, tetapi juga menunjuk-kan tergerusnya praktik pembentukan kebijakan berbasis bukti.
Padahal, pendekatan berbasis bukti diharapkan menjadi lawan seimbang dari pendekatan yang disebut oleh ahli kebijakan Inggris, Philip Davies, sebagai “kebijakan-berbasis-opini”. Pendekatan yang terakhir ini cenderung berlandaskan pan-dangan individu atau kelompok, serta lebih dipengaruhi sudut pandang ideologis, asumsi, atau dugaan spekulatif. Bukti yang menjadi dasar dalam kebijakan berbasis opini biasanya dipilih secara subjektif dan tidak didasarkan pada studi dengan kualitas yang memadai. Sayangnya, cerita tentang proses legislasi kita hari-hari ini justru didominasi pendekatan yang lebih buruk tersebut.
Apa yang terjadi pada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Timur nyaris setahun terakhir—atau hampir dua tahun sejak keduanya berstatus tersangka merupakan gejala serupa dalam konteks penegakan hukum. Atas dasar ketersinggungan pribadi, seorang pejabat negara merasa memiliki justifikasi untuk mendakwa Haris dan Fatia yang menyuarakan hasil penelitian kepada khalayak.
Kita mengenal pola-pola pembatasan aktivitas hingga serangan fisik dan digital kepada aktor-aktor masyarakat sipil sebagai penyempitan ruang gerak masyarakat sipil. Namun, dalam kasus Haris-Fatia tersebut, kita juga bisa melihat adanya pola baru pembungkaman oleh penguasa terhadap kritik-kritik masyarakat dengan cara membatasi, menyangkal, atau bahkan melawan ilmu pengetahuan, termasuk aktivitas dan hasil penelitian.
Negara telah menempatkan penelitian—sebagai produk pengetahuan—pada level signifikansi yang begitu rendah dalam proses pengambilan kebijakan. Tak hanya diingkari dalam proses produksi peraturan, aktivitas dan hasil penelitian juga kerap kali berhadapan dengan instrumen penegakan hukum, seperti yang terjadi pada kasus Haris-Fatia.
Atas dasar kepedulian terhadap situasi yang terjadi sejak perkara Haris-Fatia disidangkan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengambil posisi sebagai amicus curiae atau sahabat peradilan untuk memberikan pendapat hukum atas perkara tersebut. Dokumen pendapat hukum ini telah kami sampaikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 11 Desember 2023. Kami berharap, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memeriksa dan memutus perkara ini turut mempertimbangkan pendapat hukum yang telah kami susun sebelum menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya bagi Haris dan Fatia.