Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Setelah 20 tahun berlalu, usulan untuk kembali mengamendemen UUD 1945 kembali bergulir. MPR menggulirkan isu tersebut dan bahkan DPD dengan resmi membuat tim khusus untuk mengolah gagasan-gagasan amandemen UUD 1945. Gagasan untuk mengamandemen UUD 1945 hadir seiring dengan mencuatnya isu mengenai MPR kembali berperan memilih Presiden, perpanjangan periode masa jabatan Presiden/Wakil Presiden menjadi 3 periode serta MPR menyusun GBHN untuk kemudian dijalankan oleh Presiden.
Jika meninjau usulan MPR dengan pemilihan presiden kembali melalui MPR sebagaimana di masa lalu, maka usulan itu akan berdampak pada kembalinya praktik masa silam yang sebetulnya telah dihapuskan saat UUD 1945 diamandemen dahulu. Praktik masa lalu yang ingin dikembalikan tersebut antara lain:
- Pemilihan presiden oleh MPR
- Presiden sebagai mandataris MPR
- MPR menetapkan haluan negara
- Presiden bertanggung jawab pada MPR atas pelaksanaan haluan negara.
Mengutip jajak pendapat Indikator Politik Indonesia (2020) yang menyebutkan semakin menurunnnya kualitas demokrasi Indonesia, maka inisiatif MPR tersebut merupakan sebuah upaya yang perlu ditolak.
Berikut alasan PSHK memandang usulan amandemen terbatas UUD 1945 tersebut adalah bentuk korupsi terhadap hasil reformasi sehingga pantas ditolak dengan alasan berikut:
1. Merusak Demokrasi
Mengembalikan pemilihan presiden ke MPR adalah langkah mundur dan menurunkan kualitas demokrasi. Secara historis, Indonesia memiliki sejarah kelam saat Presiden pada masa Orde Lama dan Orde Baru dipilih oleh MPR. Terdapat empat alasan mengapa pemilihan Presiden langsung merupakan langkah terbaik (Isra, 2009) untuk demokrasi, yaitu:
Pertama, Pilpres langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil dari rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan figur yang dipilih;
Kedua, Meski tidak kedap transaksi politik, pilpres langsung akan meminimalisir terpusatnya kekuasaan pada segelintir orang untuk mengambil kata akhir;
Ketiga, Memberi kesempatan pada publik untuk mengekspreiskan pilihannya ke figur tertentu tanpa perantara partai politik;
Keempat, Menciptakan perimbangan dalam penyelenggaraan negara dalam mekanisme check and balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilihl rakyat.
2. Merusak Sistem Presidensial
Mengembalikan MPR sebagai penyusun GBHN untuk kemudian dilaksanakan oleh Presiden akan sangat merusak sistem presidensial kita. Dalam sistem presidensial tidak ada norma hukum yang dapat memerintahkan Presiden selain ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Bila MPR kembali sebagai penyusun GBHN maka akan tercipta adalah inkonsistensi. Dengan model MPR sebagai penetap GBHN, maka sistem presidensial Indonesia sesungguhnya bergerak ke arah parlementer, karena Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada rakyat tapi kepada MPR. Siapa pemegang komando pembangunan menjadi sumir, karena posisi Presiden akhirnya hanya sebagai pelaksana GBHN dan tidak memiliki agenda sendiri.
3. Merusak Kedaulatan Rakyat
Pasal 37 UUD 1945 mengatur bagaimana mekanisme untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. UUD 1945 bukannya tidak dapat diubah. Namun perubahan UUD 1945 sebagai konstitusi, tidak hanya berdasarkan aspek formil saja. Ada aspek materiil dan kejelasan ketentuan-ketentuan apa saja yang akan diubah. Bahkan proses diskusi dan pembahasan kepada publik mengenai materi perubahan harus terlaksana dan mengkristal menjadi kesimpulan-kesimpulan untuk dituangkan dalam perubahan UUD 1945, sebelum mulai masuk ke dalam mekanisme formil.
Namun apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Substansi perubahan UUD 1945 tidak pernah dipublikasikan secara resmi hanya berdasarkan sosialisasi yang dilakukan MPR. Poin-poin perubahan yang diusulkan MPR dan DPD jelas bukan agenda rakyat karena mekanisme partisipasi untuk melibatkan publik dalam usulan amandemen tidak pernah jelas. Amandemen konstitusi seolah hanya praktik yang hanya melibatkan elit sehingga apa yang menjadi kebutuhan hukum masyarakat yang berhubungan dengan konstitusi tidak pernah terlihat utuh. Sehingga wajar apabila timbul pertanyaan mengenai gagasan untuk mengembalikan pemilihan Presiden oleh MPR, menghidupkan kembali GBHN, dan masa jabatan Presiden 3 periode bertolak semata dari kehendak elit hanya melibatkan kepentingan aktor-aktor partai politik yang agendanya memang soal kekuasaan.
4. Tidak Mendesak
Legislator saat ini seharusnya fokus pada pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah dalam menanggulangi pandemi yang saat ini sudah berkepanjangan. Selain itu, Pemerintah dan Legislator juga harus cermat dalam mengalokasikan dan menggunakan anggaran negara. Proses amendemen UUD 1945 sangat memerlukan anggaran, waktu, sumber daya manusia, dan partisipasi publik yang sangat luas; sementara pandemi membatasi semua hal tersebut. Ditambah lagi preseden proses pembentukan UU yang lahir pada saat pandemi memiliki kualitas partisipasi publik yang buruk. Sebut saja pembentukan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jika dalam proses legislasi saja ruang partisipasi tidak mampu dibuka lebar, apalagi pada proses perubahan Konstitusi yg merupakan hukum tertinggi. Jadi tidak ada urgensi melakukan amandemen Konstitusi di masa pandemi, bahkan cenderung berbahaya bagi demokrasi Indonesia.
Berdasarkan 4 alasan di atas, PSHK mendesak agar MPR, termasuk DPR dan DPD, tidak memaksa melakukan amendemen UUD 1945. DPR seharusnya fokus melakukan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran untuk mendukung penanganan penyebaran COVID 19. Sedangkan DPD seharusnya fokus untuk memastikan konstituennya di daerah mendapatkan layanan dan kebutuhan dasar di tengah perjuangan melawan penyebaran COVID 19. Apalagi di daerah-daerah yang saat ini sudah terbuka mengungkapkan tidak memiliki kesanggupan anggaran untuk melakukan pembatasan mobilitas di wilayahnya, yang sebenarnya merupakan solusi penanganan COVID-19. Usaha melakukan amandemen UUD 1945 saat publik sedang berjuang melawan pandemi COVID-19 merupakan refleksi bagaimana kekuasaan digunakan untuk melanggar, alih-alih mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Jakarta, 28 Juni 2021