Capaian kinerja legislasi pada 2021 masih jauh dari harapan. DPR bersama Pemerintah hanya mengesahkan 5 RUU dari 37 RUU yang ada dalam Prolegnas 2021. Persoalan capaian kinerja legislasi di tahun 2021 ini mengulang kejadian di tahun-tahun sebelumnya, di mana jumlah RUU yang disahkan sangat minim dibanding target yang dicanangkan. Pada 2015 DPR hanya mengesahkan 3 RUU dari 40 RUU dalam Prolegnas; 2016 mengesahkan 10 RUU dari 50 RUU; 2017 mengesahkan 6 RUU dari 62 RUU; 2018 mengesahkan 5 RUU dari 50 RUU; 2019 mengesahkan 14 RUU dari 55 RUU; dan 2020 mengesahkan 3 RUU dari 37 RUU.
Selain persoalan capaian kinerja yang minim, persoaan lain muncul ketika 3 dari 5 RUU yang baru saja disahkan DPR bersama Presiden tersebut kembali terdaftar di Prolegnas 2022 yang disahkan pada 22 Desember 2021. Ketiga RUU tersebut adalah RUU tentang Perubahan UU Jalan, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan RI, dan RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Munculnya ketiga RUU tersebut dalam Prolegnas 2022 tersebut menimbulkan kebingungan. Sulit membuat kesan bahwa penyusunan Prolegnas tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang.
Dalam konteks partisipasi publik, keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat menegaskan vitalnya peran partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang. Mahkamah Konstitusi menghendaki bahwa partisipasi publik harus dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik diperuntukan terutama bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian dan mengawal pembahasan sebuah RUU tertentu.
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa partisipasi publik yang lebih bermakna tersebut setidaknya harus dilakukan paling tidak, dalam tahapan (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Putusan ini menegaskan bahwa partisipasi publik yang selama ini kerap tidak menjadi prioritas oleh pembentuk undang-undang justru memiliki peran yang vital. Selama ini, DPR bersama Pemerintah acapkali memberikan penafsiran yang amat terbatas terhadap partisipasi publik, yakni hanya sebatas: rapat dengar pendapat umum (RDPU); kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Dalam menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, partisipasi publik haruslah mendapat porsi yang layak dalam pembentukan undang-undang. Ruang-ruang bagi publik untuk memberikan masukan perlu dilakukan dengan lebih bermakna yang tidak hanya terbatas pada kehendak DPR seperti dalam hal RDPU, ketika diskresi hanya pada DPR dapat memilih dan memilah siapa saja yang boleh memberikan masukan. Dalam hal ini, ruang-ruang partisipasi publik tersebut perlu diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mendesak DPR bersama Pemerintah memberikan klarifikasi secara terbuka perihal 3 RUU yang sudah disahkan namun tetap masuk dalam Prolegnas 2022;
- Dalam hal partisipasi publik, DPR bersama Pemerintah perlu segera menyesuaikan tata cara pelaksanaan partisipasi publik untuk memberikan masukan dalam pembentukan undang-undang, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Penyesuaian tersebut perlu dilakukan terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, serta peraturan-peraturan pelaksanaan di lingkungan DPR dan Pemerintah.
- Secara konsisten menggunakan sarana media publikasi DPR dan Pemerintah untuk menyebarluaskan draf RUU atau dokumen lain yang terkait dengan proses legislasi yang sedang berjalan kepada publik.