Dok: detik.com
Sebagai respons terhadap dinamika pembentukan RUU Revisi UU TNI yang sudah keluar dari bingkai cita-cita reformasi, ketentuan konstitusi, dan prosedur legislasi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberikan catatan kritis terkait proses pembentukan RUU Revisi UU TNI. Catatan ini juga merupakan bentuk tanggung jawab moral dan intelektual, karena apapun hasil dari Rapat Paripurna, Kamis 20 Maret 2025, akan menjadi catatan sejarah bagi bangsa Indonesia. Kami berharap catatan ini juga menjadi perenungan bagi segenap Anggota DPR yang mengemban tanggung jawab perwakilan rakyat untuk mengambil sikap, dan berani bersuara dengan melihat perkembangan keresahan masyarakat luas.
Adapun 3 catatan PSHK terhadap pembentukan RUU Revisi UU TNI adalah sebagai berikut:
1. RUU TNI tidak sah sebagai RUU prioritas dalam Prolegnas 2025.
RUU Revisi UU TNI disahkan sebagai RUU prioritas pada Prolegnas 2025 dalam Rapat Paripurna 18 Februari 2025, yang sejak awal tidak mengagendakan hal tersebut. Perubahan agenda atau acara rapat tersebut tidak dilakukan melalui mekanisme sesuai Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR), yaitu perubahan acara rapat perlu diajukan secara tertulis dua hari sebelum acara rapat dilaksanakan.
RUU Revisi UU TNI diputuskan untuk masuk ke dalam Prolegnas 2025 tanpa ada pertimbangan dari Badan Legislasi DPR (sebagaimana diatur dalam Pasal 66 huruf f Tatib DPR), yaitu mencakup pertimbangan dapat atau tidak dapatnya suatu RUU masuk ke dalam Prolegnas perubahan (Pasal 67 ayat (3) Tatib DPR). Pertimbangan ini penting karena perlu dibuktikan apakah benar revisi terhadap UU TNI saat ini memiliki urgensi dibandingkan agenda RUU prioritas yang lain seperti amanat pembentukan UU Peradilan Militer, RUU Perampasan Aset, atau RUU Masyarakat Hukum Adat; sehingga harus melakukan perubahan terhadap Prolegnas 2025. Pertimbangan diperlukan untuk menjadi dasar pengambilan keputusan agar tercapai prinsip akuntabilitas.
Prolegnas perubahan 2025, yang memasukkan RUU Revisi UU TNI tidak melalui sosialisasi oleh Badan Legislasi DPR sesuai dengan tugasnya dalam Pasal 66 huruf l Tatib DPR. Hal itu merugikan publik, apalagi pembahasan dilakukan begitu cepat dalam satu masa sidang. Kelalaian pelaksanaan tugas tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab Badan Legislasi DPR yang bertugas memastikan tata kelola legislasi di DPR dapat berjalan secara akuntabel.
2. RUU Revisi UU TNI melangkahi tahap penyusunan dalam proses pembentukan UU yang diamanatkan Bab V Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Proses pembentukan RUU Revisi UU TNI melangkahi tahap penyusunan karena Surat Presiden yang menunjuk perwakilan Pemerintah dalam pembahasan RUU Revisi UU TNI bahkan sudah ada sejak 13 Februari 2025, sebelum RUU Revisi UU TNI masuk ke dalam Prolegnas 2025 (tahap perencanaan) pada 18 Februari 2025. Surat Presiden itu yang kemudian menjadi awal tahap pembahasan antara DPR dan Pemerintah, yang mulai dilaksanakan Rapat Kerja pada 11 Maret 2025.
Kondisi tersebut memungkinkan jika RUU Revisi UU TNI merupakan RUU carry over, yaitu melanjutkan pembahasan pada DPR Periode 2019-2024. Namun, RUU Revisi UU TNI bukanlah RUU carry over sesuai dengan yang tercantum dalam Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025-2029. Pada proses pembentukan RUU Revisi UU TNI periode lalu, Presiden belum pernah mengirimkan Surat Presiden dan DIM untuk pembahasan. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 71A UU 15/2019 yang mengatur bahwa
“Dalam hal pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, Rancangan Undang-Undang tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.”
maka, RUU Revisi UU TNI tidak dapat dikatakan sebagai RUU carry over. Konsekuensinya, pembentukan RUU TNI harus dilakukan dari tahap awal, termasuk tahap penyusunan.
3. RUU Revisi UU TNI dibahas secara tidak transparan, yang berdampak pada tersumbatnya ruang partisipasi masyarakat.
Draf RUU Revisi UU TNI tidak pernah disebarluaskan secara resmi oleh DPR. Dampaknya, masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara bermakna. Hal itu diperburuk oleh komunikasi DPR yang sempat menyudutkan masyarakat yang kritis dengan menyebutkan bahwa draf yang digunakan tidak sama dengan draf yang sedang dibahas. Hal itu semakin menunjukkan bahwa DPR tidak pernah menjalankan tugasnya untuk menyebarluaskan draf RUU Revisi UU TNI sesuai dengan Pasal 96 ayat (4) UU 13/2022 dan Pasal 7 huruf b Tatib DPR.
Pembahasan RUU Revisi UU TNI dilaksanakan di hotel dengan tingkat keamanan tinggi, sehingga ruang publik untuk mengetahui pembahasan RUU Revisi UU TNI semakin tertutup. Dengan tingkat penolakan yang tinggi dan misprosedur yang fatal, Komisi I DPR tetap bersikukuh untuk melanjutkan pembahasan, padahal periode pembahasan maksimal hanya dapat dilakukan dalam tiga kali masa sidang.
Jakarta, 20 Maret 2025
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)