Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Di saat Tahun 2021 hanya tersisa 3 (tiga) bulan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Pemerintah justru memilih menetapkan perubahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 dari pada menyusun dan menetapkan Prolegnas 2022. Dalam perubahan Prolegnas yang dilakukan pada 30 September terebut, DPR bersama Pemerintah menyepakati penambahan 4 (empat) RUU dari yang awalnya 33 RUU menjadi 37 RUU dalam daftar RUU yang ditargetkan selesai pada tahun ini.
Secara yuridis, keputusan DPR bersama dengan Pemerintah ini patut dipertanyakan, sebab batas waktu untuk menyusun dan menetapkan Prolegnas proritas untuk Tahun 2022 hanya tinggal sebentar lagi. Berdasarkan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan dilakukan setiap tahun sebelum penetapan RUU tentang APBN. Sementara untuk penetapan RUU APBN, berdasarkan Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan, sehingga pada akhir Oktober setiap tahunnya RUU APBN sudah harus disahkan. Itu artinya, Prolegnas prioritas tahunan sudah harus disahkan selambat-lambatnya sebebelum 31 Oktober setiap tahunnya.
Dalam catatan PSHK, pada kurun waktu 7 (tujuh) tahun terakhir, hanya 1 kali DPR bersama dengan Pemerintah mensahkan Prolegnas prioritas tahunan sesuai dengan Pasal 20 ayat (6) UU 15/2019, yaitu Prolegnas 2019 yang disahkan pada 31 Oktober 2018. Sedangkan dalam 5 tahun lainnya disahkan melebihi waktu, bahkan 3 tahun diantaranya disahkan pada saat tahun berjalan, yaitu pada Prolegnas 2015 disahkan pada 9 Februari 2015, Prolegnas 2016 disahkan pada 26 Januari 2016, dan Prolegnas 2020 disahkan pada 16 Januari 2020, dan Prolegnas 2021 ditetapkan pada 23 Maret 2021.
Keterlambatan evaluasi dan pengesahan perubahan Prolegnas 2021 berpotensi menyebabkan ketentuan Pasal 20 ayat (6) UU 15/2019 kembali dilanggar. Hal ini akan semakin menurunkan kewibawaan Prolegnas sebagai dokumen perencanaan yang harus menjadi rujukan dalam pelaksanaan kinerja DPR dan Pemerintah. Kondisi semakin buruk ketika jumlah yang ditetapkan dalam Prolegnas Perubahan tersebut juga terlalu ambisius yang tidak mungkin tercapai hingga tahun ini berakhir yang menunjukan bahwa DPR bersama dengan Pemerintah tidak belajar dari pengalaman dalam penetapan target pembentukan RUU dalam Prolegnas dan tidak mengukur kemampuan dalam membentuk Undang-Undang. Alih-alih melakukan korekasi atas beban Prolegnas yang telah ditetapkan, DPR bersama dengan pemerintah justru menggunakan momentum evaluasi Prolegnas untuk menambah beban dengan memasukkan 3 (tiga) RUU tambahan, padahal bila merujuk pada capaian kinerja legislasi sebelumnya, beban 33 RUU dalam Prolegnas 2021 sebelum dilakukan evaluasi sudah sangat berat dan tak mungkin terselesaikan.
Dalam 6 (enam) tahun terakhir, capaian Prolegnas selalu jauh berada di bawah yang ditargetkan. Pada 2015, DPR hanya meloloskan 3 RUU dari 40 RUU; pada 2016, 10 RUU dari 50 RUU; pada 2017, 6 RUU dari 52 RUU; pada 2018, 5 RUU dari 50 RUU; pada 2019, 14 RUU dari 55 RUU; pada 2020, 3 RUU dari 37 RUU. Sementara pada tahun ini, sejak pengesahan Prolegnas 2021, DPR bersama Pemerintah baru meloloskan satu RUU yang berasal dari daftar Prolegnas 2021 menjadi Undang-Undang.
Berdasarkan argumentasi tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak agar Pimpinan DPR untuk:
- DPR dan pemerintah harus mengevaluasi proses evaluasi dan penetapan Perubahan Prolegnas 2021;
- DPR bersama dengan Pemerintah Segera mengesahkan Prolegnas 2022 agar keterlambatan penyusunan dan pengesahan Prolegnas sebagaimana yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya tidak terulang kembali;