Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus mengebut proses revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). Sayangnya, proses yang dijalankan terkesan hanya untuk memberikan dasar hukum penggunaan metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Upaya pengaturan metode omnibus itu merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian UU Nomor 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja).
Belakangan ini, DPR berusaha menunjukkan upaya mereka menjalankan asas keterbukaan dengan menyebarluaskan Naskah Akademik dan Draf RUU Perubahan UU PPP serta mengundang masyarakat untuk memberikan masukan. Namun, bukan berarti langkah itu menjadi jaminan bahwa masukan publik akan diakomodasi dalam proses revisi.
Terlebih lagi, DPR aktif menjalankan parade diskusi virtual mengundang akademisi membahas topik omnibus. Diskusi berformat webinar tersebut tidak akan mampu menjawab permasalahan partisipasi publik yang sebenarnya dalam pembentukan undang-undang. Di satu sisi, rangkaian webinar itu dapat dipandang sebagai forum bagi para akademisi untuk menyampaikan masukan dan gagasan atas Naskah Akademik dan Draf RUU Perubahan UU PPP. Di sisi lain, penyelenggaraan webinar juga berpotensi dijadikan justifikasi oleh DPR sebagai metode partisipasi dalam pembentukan undang-undang.
Pemerintah dan DPR pernah menggunakan cara serupa ketika menanggapi permohonan pengujian sejumlah undang-undang di MK, seperti terjadi pada pengujian UU Cipta Kerja, Perubahan UU KPK, dan beberapa undang-undang lainnya. Pemerintah dan DPR berargumentasi bahwa aspirasi dan masukan masyarakat telah ditampung melalui forum sosialisasi ataupun diskusi-diskusi publik, meskipun pada kenyataannya belum tentu publik yang hadir dalam forum-forum tersebut memberi dukungan atas substansi RUU yang disosialisasikan.
Teknokratisme kerap menjadi dalih dalam menampung aspirasi publik melalui sosialisasi keliling ke kampus-kampus. Asumsinya, dengan mengundang pakar, kompetensi mereka dapat dengan sendirinya mewakili kepentingan masyarakat. Di satu sisi hal itu bisa dimengerti, tetapi bukan berarti tanpa persoalan. Pendekatan tersebut rentan menciptakan problem inklusivitas karena memandang validitas argumentasi hanya dari kompetensi kepakaran, bukan substansi. Kebiasaan seperti itu dikhawatirkan semakin mengisolasi wacana kepentingan publik ke dalam ranah diskusi elitis-akademis, dan jauh dari harapan masyarakat. Belum lagi menghitung potensi terciptanya relasi klientelisme antara akademisi yang diundang dan penyelenggara acara, yang bukan tidak mungkin dapat mempengaruhi objektivitas argumentasi kepakaran. Apabila penyusun kebijakan hanya memprioritaskan opini akademisi, yang sebetulnya sebagian dari elite, bayangkan betapa terisolasinya pendapat mereka yang jauh dari kekuasaan.
Dari segi materi muatan yang ada di dalam Draf RUU Perubahan UU PPP, ketentuan mengenai partisipasi publik mengalami sedikit perubahan. Apresiasi patut diberikan kepada penyusun Naskah Akademik yang sudah memasukkan pijakan teori partisipasi yang cukup komprehensif. Namun, kendali warga negara sebagai tujuan utama partisipasi yang ditulis pada Naskah Akademik tersebut belum tercermin dalam substansi RUU.
Sebaliknya, penambahan frasa “terdampak langsung” (Pasal 96 ayat (3) sebagai prasyarat yang melekat pada hak memberi masukan justru dapat memunculkan masalah baru. Pengaturan pasal tersebut terkesan menciptakan kriteria yang kabur serta berpotensi menyempitkan ruang partisipasi publik. Keberadaan frasa tersebut bisa jadi bermaksud untuk mempermudah proses partisipasi agar lebih cepat, tetapi hal itu menjadi mengindikasikan bahwa RUU yang dibuat justru lebih cenderung untuk mengakomodasi kepentingan kemudahan teknis-operasional DPR ketimbang kepentingan masyarakat secara luas.
DPR dan Pemerintah tidak perlu takut dengan gagasan partisipasi yang mengedepankan inklusivitas. Bila partisipasi publik dijalankan secara bermakna, durasi pembentukan RUU bukan lagi jadi ukuran keberhasilan. Dalam skenario itu, tidak tercapainya titik konsensus pembahasan muatan-muatan dalam sebuah undang-undang bisa menjadi sinyal bahwa bagi publik kebutuhan hukum tersebut belum ada. Sehingga, proses deliberatif itu akan dengan sendirinya menjadi penyaring atas RUU mana saja yang memang perlu, atau tidak perlu disahkan, dalam hemat masyarakat.
Revisi UU PPP seharusnya tidak ditujukan sebatas formalitas untuk menjalankan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Revisi UU PPP semestinya dilihat sebagai upaya pembenahan tata kelola regulasi secara komprehensif; tidak sekadar menyediakan gunting untuk pangkas sana sini. Artinya, revisi seharusnya mengatur materi lain yang diperlukan dalam mendukung tata kelola regulasi, seperti soal perencanaan, materi muatan, harmonisasi, monitoring dan evaluasi, hingga kelembagaan tata kelola peraturan perundang-undangan. Hal-hal ini jauh melampaui persoalan memenuhi legalitas dari penggunaan metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan semata; sebuah logika yang seharusnya dimiliki DPR sebagai lembaga legislatif.
Proses “kejar tayang” yang dilakukan oleh DPR saat ini menunjukkan bahwa DPR gagal melihat kesempatan merevisi UU PPP kali ini sebagai momentum untuk membenahi persoalan peraturan perundang-undangan yang lebih besar dan mengakar. Revisi UU PPP seharusnya ditujukan untuk melakukan reformasi regulasi secara menyeluruh, bukan proses tergesa-gesa sekadar untuk memberikan justifikasi bagi metode omnibus.
Tidak ada salahnya bagi DPR dan Pemerintah untuk mengatur kembali langkahnya serta mereformulasi tujuan utama dalam merevisi UU PPP. Cukup sekali publik melihat proses legislasi ugal-ugalan dan tidak untuk kedua kalinya melihat DPR dan Pemerintah terantuk pada lubang yang sama dalam proses pembentukan undang-undang. Kegagalan mereka memaknai partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja seharusnya merupakan tamparan keras bagi pembuat undang-undang untuk memerhatikan partisipasi dalam proses legislasi.