Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Pada 25-26 September 2023, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan fit and proper test untuk seleksi hakim konstitusi usulan DPR. Sekitar 15 menit setelah proses wawancara berakhir pada 26 September 2023, DPR mengumumkan bahwa seluruh fraksi setuju memilih Asrul Sani sebagai hakim konstitusi usulan DPR menggantikan Yang Mulia Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Terlepas dari hasil pemilihan tersebut, proses fit and proper test di DPR patut dikritisi secara keras, sebab hingga saat ini, proses pemilihan hakim konstitusi usulan DPR mengesankan bentuk intervensi DPR ke kekuasaan kehakiman.
Adapun alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, proses seleksi hakim konstitusi di DPR terburu-buru, dipaksakan, tidak cukup transparan, dan tidak partisipatif. Hal ini menyimpangi amanat Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tentang seleksi hakim konstitusi yang dilakukan secara objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka. Berdasarkan pemantauan PSHK pada agenda DPR, tidak ditemukan informasi mengenai pembukaan seleksi, nama-nama calon secara tiba-tiba muncul. Selain itu, proses yang terburu-buru dan singkat, tidak cukup memungkinkan adanya partisipasi publik secara luas dalam setiap tahapan seleksi, bahkan untuk melakukan pemantauan secara langsung di DPR.
Kedua, model seleksi yang dilakukan oleh panel anggota Komisi III DPR secara langsung membuat proses seleksi potensial memunculkan konflik kepentingan, terlebih ketika terdapat calon kandidat yang berlatar belakang sebagai anggota DPR. Objektivitas dalam proses seleksi dan pengambilan keputusan dapat dipertanyakan.
Ketiga, paradigma sejumlah anggota Komisi III DPR memposisikan hakim konstitusi sebagai perpanjangan tangan DPR di Mahkamah Konstitusi (MK). Paradigma demikian merupakan sebuah kekeliruan konstitusional yang fatal dan merusak logika checks and balances kekuasaan negara, sebab hakim konstitusi bersifat independen dan bukan representasi lembaga pengusul. Paradigma ini diperkuat dengan narasi pertanyaan dan komentar sejumlah anggota Komisi III DPR yang meminta komitmen kandidat untuk berkonsultasi ke DPR sebelum memutus perkara pengujian undang-undang, mempertahankan undang-undang yang diujikan di MK kelak, dan mendorong kecenderungan judicial restraint dalam memutus perkara pengujian undang-undang. Selain itu, pertanyaan yang disampaikan tidak cukup menyentuh problem kontekstual saat ini, terutama mengenai peran MK dalam membendung democratic backsliding dan autocratic legalism.
Keempat, penyaringan kandidat tidak dilakukan dengan optimal. Sebab proses seleksi masih melibatkan kandidat dengan integritas dan semangat antikorupsi yang masih dipertanyakan. Sebagai pengingat, dua hakim konstitusi usulan DPR merupakan terpidana kasus korupsi, yaitu Akil Mochtar yang terjerat penyuapan dalam penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah, dan Patrialis Akbar yang terjerat penyuapan dalam perkara pengujian undang-undang. Oleh karena itu, penyeleksian kandidat yang diundang untuk fit and proper test harus dilakukan secara ketat dan secara serius memastikan integritas tiap kandidat.
Atas dasar tersebut, PSHK mendesak agar:
- DPR menyempurnakan standar seleksi hakim konstitusi dengan melibatkan panel ahli pada wawancara untuk menghindari conflict of interest, membuka proses seleksi secara transparan sejak tahap awal, serta melibatkan partisipasi publik yang luas untuk memantau proses dan memberikan masukan terhadap calon hakim konstitusi.
- DPR tidak memanfaatkan momentum seleksi hakim konstitusi sebagai upaya intervensi kekuasaan kehakiman. DPR hanya lembaga negara yang berwenang mengusulkan calon hakim konstitusi dan hakim konstitusi yang terpilih independen dan tidak bertanggung jawab kepada DPR.
- DPR tidak melakukan recall atau penarikan hakim konstitusi usulan DPR, sebab mengancam independensi dan keamanan jabatan hakim konstitusi, terlepas dari bagaimanapun pendirian hakim konstitusi tersebut dalam memutus perkara.
- Hakim Konstitusi usulan DPR yang terpilih bersikap independen, imparsial, dan tidak berperan sebagai perpanjangan tangan DPR di kekuasaan kehakiman.