HIMBAUAN PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN JIWA INDONESIA
Tentang
ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM PEMILIHAN UMUM 2019
Sebelas hari lagi, pesta demokrasi terbesar di negara kita akan berlangsung, saatnya seluruh warga negara Indonesia menggunakan hak pilihnya untuk memilih presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat yang akan mengelola negara, pembangunan bangsa, dan pengembangan kesejahteraan seluruh penduduk Indonesia tanpa kecuali selama 5 tahun ke depan. Hak pilih merupakan hak asasi seluruh manusia, termasuk orang dengan disabilitas baik fisis maupun mental, termasuk di dalamnya orang dengan gangguan jiwa.
Sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan bahwa semua penyandang disabilitas termasuk akibat gangguan jiwa memiliki hak suara dalam Pemilihan Umum, 17 April 2019 terjadi kontroversi di masyarakat. Banyak yang mendukung hak ini, namun tidak sedikit pula yang menanggapi secara negatif, baik dalam bentuk pernyataan penolakan, merendahkan, dan menjadikan lelucon, yang justru semakin menjauh dari upaya pemenuhan hak asasi manusia pada orang dengan disabilitas seperti yang telah dijamin oleh Undang-Undang No 7 Tahun 1917 tentang Pemilihan Umum dan berbagai peraturan perundangan lainnya.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia menilai kondisi yang ada di masyarakat saat ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah kurangnya pemahaman dan sikap negatif baik stigma maupun diskriminasi bagi orang dengan gangguan jiwa. Berikut fakta-fakta tentang orang dengan gangguan jiwa dan hak pilihnya, yang perlu diketahui secara luas:
- Orang dengan gangguan jiwa memiliki hak pilih yang SAMA dengan warga negara lainnya (aspek yuridis) melekat sebagai hak asasi manusia (aspek filosofis). Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
- Diperkirakan lebih dari 3.500 orang dengan disabilitas mental terdaftar dalam daftar pemilih Pemilu tahun 2019 ini. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan jumlah orang dengan gangguan jiwa yang ada di Indonesia yaitu lebih dari 500 000 (Riskesdas 2018).
- Kesempatan bagi orang dengan gangguan jiwa di Indonesia untuk menggunakan hak suaranya telah berlangsung sejak tahun 1955.
- Kesempatan tersebut diperkuat dengan regulasi yang berlaku di Indonesia di antaranya:
- Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Pasal 28 D ayat 1.
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab 9, Pasal 43 ayat 1dan 2.
- Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 148.
- Undang-Undang No. 19 Tahun 2015 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas, Pasal 3, 5, 25, dan 29 huruf a.
- Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Pasal 2 poin h.
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang menyalahi UUD Tahun 1945.
- Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 4 ayat 1c, Pasal 9, 13 poin a, Pasal 75 ayat 1 dan 2.
- Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 5, 198, 199, dan 200.
- Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No. 37 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum – menghilangkan 2 pasal dalam PKPU no 11 tahun 2018 yaitu. pasal 3 ayat 2 poin c yang menyatakan pemilih sedang tidak terganggu jiwanya, serta pasal 3 ayat 4 yang megharuskan orang dengan gangguan jiwa membawa surat keterangan dokter untuk bisa memilih.
- Pemerintah Indonesia senantiasa membangun masyarakat yang inklusif, mengembangkan pendekatan berbasis hak asasi bagi orang dengan disabilitas, berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia yang mencakup nilai kesetaraan dan non-diskriminatif.
- Indonesia bukanlah negara pertama dan satu-satunya yang menghormati dan memfasilitasi hak suara yang dimiliki oleh orang dengan gangguan jiwa. Hampir semua negara tidak melarang orang dengan gangguan jiwa untuk ikut berpartisipasi dalam memilih.
- Keputusan akhir untuk memilih atau tidak memilih, termasuk memilih apa dan siapa, merupakan hak asasi orang dengan gangguan jiwa yang SAMA dengan warga negara lainnya. Tidak dapat dipaksa, diarahkan, atau digerakkan oleh pihak mana pun, sesuai dengan asas pemilihan umum – langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER), jujur, dan adil (JURDIL).
- Memilih adalah hak, karenanya jika kondisi orang dengan gangguan jiwa tidak memungkinkan untuk memilih di Tempat Pemungutan Suara maka penyelenggara pemilu wajib untuk memfasilitasi hak pilih misalnya dengan mendatangi tempat perawatan. Hak pilih tidak dapat dipaksakan, termasuk bila karena kondisinya orang dengan gangguan jiwa tidak mungkin atau tidak ingin memilih, maka penyelenggara pemilu tidak dapat memaksa orang dengan gangguan jiwa untuk ikut memilih.
- Kekhawatiran orang dengan gangguan jiwa akan membahayakan pemilih lain di Tempat Pemungutan Suara sangat tidak beralasan, mengingat tingkat keberbahayaan orang dengan gangguan jiwa sama dengan masyarakat lain pada umumnya. Saat ini lebih banyak orang dengan gangguan jiwa yang menjadi korban kekerasan.
- Kekhawatiran orang dengan gangguan jiwa untuk mudah diarahkan untuk memilih calon tertentu juga tidak beralasan mengingat hak pilih bersifat rahasia. Lebih banyak anggota masyarakat lain yang lebih rentan untuk diarahkan memilih calon tertentu, seperti mereka yang kurang beruntung di bidang pendidikan ataupun ekonomi.
- Dalam pemilihan umum, tidak ada risiko untuk ‘salah memilih’. Keputusan untuk memilih calon tertentu adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh undang-undang.
Berangkat dari situasi yang ada dan fakta-fakta penting yang senantiasa perlu diingat, maka dengan ini Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia menghimbau bagi para psikiater maupun masyarakat untuk:
- Menaati peraturan perundangan yang berlaku di negara kita untuk memfasilitasi penyampaian hak suara orang dengan gangguan jiwa.
- Bersama-sama menghormati dan menjamin hak pilih orang dengan gangguan jiwa dengan cara melakukan pendataan, memfasilitasi agar hak suara dapat tersampaikan dengan asas pemilu yang benar, mengawasi dan melindungi dari penyalahgunaan atau perlakuan salah dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
- Memberikan hak pilih pada orang dengan gangguan jiwa merupakan bagian penting dalam upaya mengurangi stigma, mendorong rehabilitasi dan integrasi orang dengan gangguan jiwa agar dapat diterima dan aktif kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
- Berupaya melindungi dan memfasilitasi pemenuhan semua hak orang dengan gangguan jiwa.
- Gangguan jiwa bukanlah ketidakmampuan. Penetapan kapasitas orang dengan gangguan jiwa untuk menggunakan hak pilihnya tidak didasarkan pada diagnosis maupun gejalanya, melainkan didasarkan pada kapasitasnya untuk memahami tujuan pemilu, alasan berpartisipasi, dan pemilihan calon. Pertimbangan mendalam terutama dikaitkan dengan fungsi kognitif (kemampuan berpikir), mengendalikan agresivitas, dan berperilaku sesuai norma yang berlaku di masyarakat.
- Tidak diperlukan surat keterangan sehat jiwa sebagai persyaratan untuk memilih, mengingat tidak ada peraturan yang mewajibkan adanya surat keterangan sehat untuk memilih. Apabila surat keterangan sehat jiwa diharuskan bagi ODGJ agar dapat melaksanakan hak untuk memilih, maka mempunyai konsekuensi bahwa semua calon pemilih dikenakan aturan yang sama.
- Senantiasa secara aktif melakukan edukasi bagi masyarakat, partai politik, pendamping dan Komisi Pemilihan Umum agar dapat melakukan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan pendampingan orang dengan gangguan jiwa bila diperlukan.
Demikian himbauan ini dibuat untuk dapat dijadikan sebagai arahan, rekomendasi, dan acuan bersikap dalam menentukan tindak lanjut yang diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera bagi semua.