Dalam Rapat Dengar Pendapat 25 Mei 2022, Kementerian Hukum dan HAM yang mewakili Pemerintah menyampaikan 14 isu krusial dalam RKUHP pada Komisi III DPR RI pasca pelaksanaan sosialisasi yang dilakukan Pemerintah dalam dua tahun terakhi. Komisi III DPR RI menyatakan menyetujui 14 isu krusial tersebut dan akan mengirimkan surat kepada Presiden. Langkah selanjutnya berarti adalah persetujuan untuk membahas Pembicaraan Tingkat II serta pengesahan saat Rapat Paripurna. Sama sekali tidak ada pembenaran untuk langkah Komisi III DPR tersebut. Seharusnya apabila Pemerintah menyampaikan draft yang mengandung perubahan, maka seharusnya draf tersebut dianggap berbeda oleh DPR dengan draft sebelumnya. Baru draf tersebut dibahas kembali sesuai dengan prosedur legislasi, khususnya mengacu kepada ketentuan yang membahas perihal RUU operan (carry over) atau RUU yang pembahasannya berlanjut setelah tidak selesai pada periode DPR sebelumnya.
Berstatus RUU Operan Tidak Berarti Dapat Langsung Disahkan
Ketentuan mengenai RUU operan ini tercantum dalam Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019). Pasal 71A tersebut dijabarkan secara lebih teknis dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang (Peraturan DPR 2/2020). Dalam Pasal 110 ayat (3) Peraturan DPR 2/2020 mengatur bahwa DPR lanjut membahas RUU operan dalam Pembicaraan Tingkat I dengan menggunakan Surat Presiden dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang sudah ada pada DPR periode keanggotaan sebelumnya. Bagaimana dengan RKUHP? Status RKUHP pada pembahasan di DPR periode 2014-2019 memang sudah di tahap akhir Pembicaraan Tingkat I, namun statusnya kini Pemerintah mengajukan perubahan DIM kepada DPR. Perubahan DIM yang memuat 14 isu krusial tersebut sudah mendapat persetujuan DPR. Oleh karena itu, Pembicaraan Tingkat I semakin wajib untuk dilakukan oleh DPR sesuai dengan prosedur legislasi; setidaknya untuk membahas DIM perubahan dari Pemerintah tersebut. Karena adanya perubahan DIM ini, RKUHP tidak dapat langsung diteruskan oleh DPR untuk mendapatkan pengesahan di Pembicaraan Tingkat II.
Sebarluaskan Draft RKUHP Sesuai Prosedur Legislasi
Ketika Pemerintah mengajukan DIM yang memiliki perubahan maka seharunya tahapannya kosnsiten dengan prosedur Pembicaran Tingkat I yang diatur dalam Pasal 87 ayat (2) huruf a Peraturan DPR Nomor 2/2020. Secara prosedur yaitu melalui Rapat Komisi bersama dengan Menteri Hukum dan HAM yang mewakili Presiden.
Melaksanakan Pembicaraan Tingkat I sesuai dengan prosedur seharusnya bukan hanya memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). “Sesuai dengan prosedur” berarti memenuhi aspek keadilan prosedural bagi warga negara, sebagai pihak yang akan terdampak dari UU yang akan disahkan kelak.
Jaminan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi juga dijamin dalam Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 bahwa bahwa setiap draft RUU harus dapat diakes dengan mudah oleh masyarakat. Bahkan Kementerian Hukum dan HAM sendiri mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Permenkumham 11/2021). Pasal 19 menyebutkan bahwa instansi pemrakarsa melaksanakan konsultasi publik antara lain dengan menyebarluaskan hasil perkembangan pembahasan RUU di DPR dengan cara mengunggah ke dalam sistem informasi dan atau media elektronik lainnya yang mudah diakses masyarakat. Termasuk juga dan menyelenggarakan forum tatap muka atau dialog langsung dengan melibatkan masyarakat.
Sekadar mengingatkan, pada Juni 2021 Tim Pemerintah juga sempat menolak membuka draft terbaru yang dihasilkan dari serangkaian proses pertemuan yang dilakukan dengan alasan belum diserahkan kepada DPR. Namun sekarang, setelah disampaikan kepada DPR, Pemerintah masih juga berkelit dan menolak membuka draft RKUHP tersebut. Mengenai pentingnya keterlibatan publik ini, Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 turut mengingatkan bahwa tidak terpenuhinya aspek partisipasi bermakna ini mengakibatkan terbentuknya UU yang memiliki cacat formil. Gairah memutus rantai dengan produk kolonial seharusnya tidak mengkhianati esensi dari pembentukan undang-undang yaitu terpenuhinya rasa keadilan dan pemenuhan etika partisipasi keterwakilan publik. Oleh karena itu, jangan sampai dalih percepatan proses menutupi perwujudan keadilan bagi masyarakat.
Berdasarkan argumentasi tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendesak agar:
- Pemerintah membuka draft RKUHP terbaru sesuai dengan ketentuan dan tata cara dalam Permenkumham 11/2021;
- DPR dan Pemerintah melakukan pembicaraan tingkat I terhadap keseluruhan draft, khususnya ketentuan-ketentuan baru dalam RKUHP yang sudah diajukan oleh Pemerintah;
- DPR mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan respon atas aspirasi yang diajukan oleh masyarakat, terutama kelompok rentan dan kelompok yang akan terdampak dengan ketentuan dalam RKUHP; dan
- DPR dan Pemerintah tidak berupaya untuk menyimpangi prosedur legislasi untuk memasakan dan menghindari pembahasan RKUHP secara terbuka dan partisipatif.