Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Komisi Pemilihan Umum tidak taat peraturan dan kehilangan kemandiriannya dalam melaksanakan tugasnya menuju pemilu serentak 2024. Sejumlah tindakan KPU diindikasikan bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Putusan MK, serta prinsip kemandirian dalam penyelenggaraan pemilu. Setidaknya, hal itu terlihat jelas dalam tiga kejadian sebagai berikut:
Pertama, pada 20 Mei 2023, KPU mengeluarkan pengumuman Nomor 51/SDM.12-PU/04/2023 tentang Calon Anggota KPU Provinsi Terpilih pada 20 Provinsi Periode 2023–2028 yang di dalamnya mengabaikan keterwakilan perempuan. Nihilnya keterwakilan perempuan terlihat di 5 KPU Provinsi, yaitu KPU Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, dan Banten.
Hasil seleksi tersebut tak sejalan dengan Pasal 10 ayat (7) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa pemilihan anggota KPU daerah harus “memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%”. Ketentuan itu memang tidak secara tegas mewajibkan adanya keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi pengabaian terhadap ketentuan itu menunjukkan rendahnya komitmen KPU untuk menyelenggarakan pemilu yang inklusif. Keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu sangat penting untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu inklusif sekaligus menjamin hak politik perempuan secara konstitusional.
Kedua, KPU telah membuka celah bagi mantan terpidana korupsi menjadi calon legislatif tanpa melewati masa tenggang 5 tahun. Hal itu terjadi setelah KPU menerbitkan Peraturan KPU No. 10/2023 dan PKPU No. 11/2023. Pasal 11 ayat (6) PKPU No. 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU No. 11/2023 memuat ketentuan bahwa mantan terpidana diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu 5 tahun sepanjang vonis pengadilannya memuat pencabutan hak politik. Pencabutan hak politik ini dapat diduga menjadi jalan terselubung bagi mantan terpidana korupsi untuk menjadi calon anggota legislatif tanpa melewati masa tunggu selama 5 tahun, sebab sanksi tambahan pencabutan hak politik selama ini diterapkan baru untuk terpidana korupsi. Selain itu, tren pencabutan hak politik yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi juga kurang dari 5 tahun.
Kedua PKPU tersebut nyatanya tidak sejalan dengan 3 putusan MK yang secara tegas memberikan syarat limitatif bagi seorang eks-terpidana untuk menjadi calon anggota legislatif. Putusan No. 56/PUU-XVII/2019, Putusan No. 87/PUU-XX/2022, dan Putusan No. 87/PUU-XX/2022 secara tegas menyatakan bahwa mantan terpidana yang ingin menjadi anggota legislatif harus memenuhi syarat: 1) tidak pernah menjadi terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik; 2) telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan 3) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang. Dari ketiga syarat yang diberikan MK tersebut, tidak terdapat pengecualian atas dasar pencabutan hak politik.
Ketiga, pada 17 Mei 2023, diselenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diikuti oleh Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang hasilnya mengabaikan hak-hak perempuan menjadi anggota legislatif. Rapat tersebut meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan PKPU No. 10/2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini sangat kontradiktif dengan sikap KPU pada 10 Mei 2023 ketika menerima aspirasi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan. Saat itu, KPU menyatakan akan merevisi Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No. 10/2023 yang sebelumnya menyatakan “dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon Perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan,…, a. Kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah;…”.
Tunduknya KPU terhadap Komisi II DPR dan pemerintah menunjukkan KPU tidak lagi memiliki kemandirian dalam penyelenggaraan pemilu. Padahal, Putusan MK No. 92/PUU/XIV/2016 telah menyatakan bahwa hasil konsultasi KPU dengan DPR tidak bersifat mengikat, serta tidak sesuai dengan kewajiban hukum sesuai dengan sumpah jabatan, yakni menerapkan prinsip mandiri serta menegakkan konstitusi dan UU Pemilu dalam penyelenggaraan Pemilu.
Berdasarkan uraian tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak KPU untuk:
- Menaati UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu serta sejumlah Putusan MK yang berdampak terhadap UU Pemilu dan penyelenggaraan pemilu;
- Menjaga kemandirian dalam penyelenggaraan pemilu sebagaimana amanat Pasal 22E ayat (5) UUD 1945;
- Menyelenggarakan pemilu secara inklusif dan menjamin adanya kesamaan hak politik perempuan secara konstitusional dengan merevisi penetapan anggota KPU Provinsi yang tidak memperhatikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan;
- Merevisi ketentuan bermasalah dalam PKPU No. 10/2023 dan PKPU No. 11/2023; dan
- Merevisi Pasal 8 PKPU 10/2023 dengan merujuk pada ketentuan terkait dengan kuota caleg perempuan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.