Pluralitas sering dikatakan sebagai potensi kekuatan bangsa. Namun, realitas keragaman itu di sisi lain juga bagaikan fenomena gunung es: Menyimpan potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa mencair. Seringkali, konflik menimpa kelompok minoritas baik dari segi ras, etnis, bahasa, agama, maupun identitas lainnya. Akibatnya, beberapa populasi terbilang rentan menerima perlakuan diskriminasi.
Hampir di setiap tempat potensi kelompok minoritas dan rentan mengalami risiko seperti diskriminasi, stigmatisasi, kekerasan, ataupun kriminalisasi yang cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok mayoritas. Kerap, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dialami masyarakat minoritas, baik di bidang hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial budaya berdampak sangat luas hingga memunculkan efek berantai terhadap kehidupan orang di sekitar mereka. Pembiaran dan kurangnya respons negara untuk menghentikan pelanggaran tersebut membuat perlakuan diskriminatif seolah terlazimkan dalam kehidupan sosial. Dan situ-asi ini memunculkan kategori-kategori masyarakat rentan yang berhak mendapatkan pelindungan lebih ketimbang masyarakat pada umumnya.
Dalam konteks hukum, pengertian kelompok rentan belum secara eksplisit dirumuskan. Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan pelin-dungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Sekilas, tidak ada penafsiran yang bisa ditarik dari rumusan pasal itu selain bahwa adanya hak mendapatkan perlakuan dan pelindungan lebih karena adanya kekhususan. Penjelasan pasal yang sama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan antara lain orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan ‘penyandang cacat’. Sebagai pembanding, Human Rights Reference menggolongkan kelompok rentan termasuk antara lain pengungsi (refugees); pengungsi internal atau Internally Displaced Persons (IDPs); warga negara minoritas (national minorities); pekerja migran (migrant workers); masyarakat adat (indigenous peoples); anak-anak (children); dan perempuan (women). Terlihat, cakupan kelompok rentan yang dimiliki Indonesia masih terbilang sempit karena belum memasukan banyak populasi lainnya, yang juga rentan mengalami risiko-risiko ke dalam kategori tersebut. Di lingkup internasional sendiri terdapat banyak instrumen yang diinisiasi komunitas global terkait pelindungan kelompok rentan, di antaranya, (1) United Nations (UN) Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) (2007); (2) International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (2003); (3) UN Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) (1981); (4) UN Convention on the Rights of the Child (1990); (5) Vienna Declaration and Programme of Action, dan seterusnya. Adapun, beberapa dari instrumen tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi hukum positif.
Lebih jauh, berbeda dengan pengaturan kelompok rentan yang masih absen, pengaturan perihal diskriminasi dapat ditemukan di beberapa undang-undang. ‘Diskriminasi’, menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 3 UU HAM, adalah “Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau peng-gunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. Dengan pengertian itu, dapat ditarik setidaknya beberapa hal: Pertama, diskriminasi merupakan persoalan yang menghambat penyelenggaraan pelayanan umum, terutama dalam pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara sebagaimana diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945; kedua, diskriminasi melekat pada suatu kategori, faktor, atau iden-titas tertentu yang terasosiasikan pada subjeknya.
Sebagai sebuah institusi publik, peran keberpihakan negara dalam melindungi dan mencegah perlakuan diskriminatif serta risiko-risiko yang berhubungan dengan kerentanan adalah dengan membentuk sejumlah kebijakan dan juga menegakkan hukum. Kasarnya, kebijakan adalah representasi dari apa yang negara ke-hendaki atau tidak kehendaki, yang dalam praktiknya terejawantahkan dalam bentuk legislasi maupun non-legislasi—seperti intervensi politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Lewat pembentukan peraturan perundang-undangan, materi muatan yang terkandung diharapkan akan dapat secara jelas dan tegas melarang praktik-praktik diskriminatif, untuk selanjutnya dilaksanakan dengan upaya penegakan hukum yang konsisten. Hilirnya adalah menjamin terlaksananya pelindungan negara yang memadai terhadap pelak-sanaan hak-hak dasar masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, walau dengan be-berapa peraturan yang telah diberlakukan di Indonesia, pada kenyataannya perlakuan diskriminasi terhadap kelompok rentan masih sering dijumpai. Merealisasikan budaya anti-diskriminasi seperti jadi tantangan berat lantaran nilai-nilai primordialisme yang hidup di masyarakat kerap jadi faktor penghambat. Misalnya saja dalam kasus pengakuan hak bagi minoritas gender, yang hingga kini masih menuai banyak penolakan dari beberapa kelompok masyarakat sekalipun HAM diklaim sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi dalam bernegara.
Berdasarkan gambaran situasi tersebut, muncul kebutuhan untuk membuat kajian yang mengidentifikasi permasalahan legislasi terkait penghapusan diskriminasi terhadap kelompok rentan sehingga usulan perbaikan regulasi dapat dirumuskan. Studi ini berupaya memetakan peraturan perundang-undangan pada level undang-undang yang mengatur mengenai aspek diskriminasi dan aspek kelompok rentan. Terdapat dua pertanyaan riset yang diajukan: Pertama, bagaimanakah kualitas pengaturan undang-undang terkait penghapusan diskriminasi terhadap kelompok rentan saat ini? Kedua, bagaimana strategi advokasi kebijakan untuk memperkuat pengaturan tentang penghapusan diskriminasi terhadap kelompok rentan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?