Intensitas transaksi masyarakat Indonesia melalui platform digital menggunakan aplikasi di perangkat komputer (web-based application) dan telepon genggam (smartphone-based application) semakin tinggi sejak pandemi Covid-19. Tingginya transaksi diiringi dengan tingginya potensi terjadinya sengketa, baik antara sesama pelaku usaha (Business to Business/ B2B) dan antara pelaku usaha dan konsumen (Business to Consumer/ B2C). Opsi penyelesaian sengketa yang ada saat ini beragam, baik di sektor peradilan maupun non-peradilan, baik penyelesaian yang diinisiasi pelaku usaha secara internal maupun yang menggunakan pihak ketiga. Salah satu mekanisme yang perlu dikembangkan adalah online dispute resolution (ODR).
Indonesia sudah mempunyai kerangka pengaturan ODR meskipun tidak secara khusus dan tersebar dalam berbagai regulasi. Peraturan Pemerintah (PP) No. 80 Tahun 2019 mengatur bahwa penyelesaian sengketa e-commerce dapat dilakukan melalui pengadilan atau melalui mekanisme lainnya secara elektronik (ODR). Oleh karenanya, ODR dapat dilaksanakan oleh lembaga peradilan dan lembaga di luar peradilan, sepanjang diselenggarakan secara elektronik.
ODR mempunyai prospek pelaksanaan atau peluang implementasi karena sudah ada kerangka regulasi yang mendukung, sudah ada institusi yang melaksanakan dan tinggal dikembangkan, serta adanya perkembangan konektivitas transaksi lintas batas dalam e-commerce.
Tantangan bagi pelaksanaan ODR adalah meliputi: (1) belum ada kerangka khusus untuk ODR; (2) implementasi eksekusi perdata Indonesia masih lemah; (3) pola kelembagaan ODR masih belum jelas; (4) masing-masing lembaga mempunyai inisiatif ODR sendiri yang sektoral; (5) belum terbangunnya infrastruktur pendukung ODR yang aman, andal, dan bertanggung jawab masih jadi pekerjaan rumah; (6) rendahnya pengetahuan konsumen dan masyarakat soal ODR; (7) belum ada regulasi pendukung lain untuk ODR seperti UU Pelindungan Data Pribadi dan UU Hukum Perdata Internasional; (8) belum terintegrasinya sistem dengan negara lain karena konektivitas regulasi dan sistem setidaknya harus kompatibel (sesuai).
Saat ini Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Indonesia telah menyelesaikan kajian “Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan di Indonesia: Online Dispute Resolution”. Kajian ini merespon komitmen regional dalam rangka pelindungan konsumen yang dirumuskan melalui ASEAN Strategic Action Plan on Consumer Protection (ASAPCP 2025).
Berdasarkan kajian tersebut, PSHK mengusulkan tahapan pengembangan dan elemen kebijakan pengembangan ODR sebagai berikut:
Pertama, pengembangan kelembagaan penyelesaian sengketa pada tataran pengadilan dan luar pengadilan secara elektronik dimana ODR sebagai alat dukung prosedural dan materiil yang sudah dimiliki lembaga tersebut. Upaya yang bisa dilakukan adalah berupa improvisasi peraturan atau kebijakan lembaga dengan mengadopsi mekanisme yang lebih detail tentang penggunaan sarana elektronik bagi penyelesaian sengketa.
Kedua, pembuatan dan pengembangan jaringan nasional ODR (National ODR Network) misalnya dengan mengembangkan platform berbasis web atau smartphone yang bisa menjadi marketplace lembaga publik terkait penyelesaian sengketa konsumen, lembaga altenative dispute resolution (ADR) atau ODR. Selain itu, platform ini juga bisa menjadi marketplace atau hub bagi mediator atau arbiter. Upaya yang perlu dilakukan setidaknya adalah memasukkan ketentuan demikian dalam revisi UU Perlindungan Konsumen.
Ketiga, pengembangan lebih lanjut ODR, dimana ODR bukan hanya sebagai alat dukung prosedural saja namun juga memfokuskan kepada materiilnya. ODR mulai memanfaatkan inovasi dan penggunaan kecerdasan artifisial (artificial intelligence) untuk membantu proses dan penyelesaian sengketa baik dalam lembaga peradilan maupun di luar peradilan. Upaya yang perlu dilakukan adalah mendorong revisi UU Kekuasaan Kehakiman, revisi Hukum Acara Perdata, revisi UU Arbitrase dan Altenatif Penyelesaian Sengketa, dan pengembangan peraturan/kebijakan pada tingkat lembaga penyelesaian sengketa.
Elemen kebijakan yang perlu ada dalam pengembangan ODR setidaknya meliputi: (1) pendefinisian pemangku kepentingan dan peran serta fungsinya masing-masing; (2) penentuan objek atau kompetensi penyelesaian sengketa; (3) pengembangan tata kelola data atau manajemen sengketa/perkara; (4) pelarangan forum shopping atau berpindah lembaga penyelesaian sengketa dari satu ke yang lain demi putusan yang menguntungkan; (5) prosedur dan mekanisme terkait ODR; (6) kerahasiaan dan perlindungan data; (7) konektivitas dengan peradilan; (8) keamanan dan keandalan sistem dan teknologi ODR yang digunakan; (9) Integrasi sistem ODR dengan negara lain; (10) pengembangan kesadaran, literasi, dan kapasitas pemangku kepentingan; dan (11) monitoring dan supervisi pelaksanaan ODR.
LAWmetric adalah upaya kreatif menyebarkan gagasan hukum dalam
bentuk infografik. LAWmetric hadir untuk mendekatkan hukum
dengan masyarakat.