Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
DPR RI tengah melakukan pembahasan terhadap RUU Pemerintahan Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) sebagai konsekuensi dari disahkannya UU Ibu Kota Negara (UU IKN) yang memindahkan ibu kota negara Indonesia dari DKI Jakarta ke Penajam Paser. Pada pembukaan masa persidangan IV 2023-2024 tanggal 5 Maret 2024, Badan Legislasi DPR ditunjuk untuk memimpin pembahasan terhadap RUU DKJ. Kemudian, pada tanggal 13 Maret, Baleg DPR memulai pembahasan RUU DKJ bersama dengan Pemerintah dan DPD. Pertemuan tersebut menghasilkan target yang sangat ambisius, yaitu menyelesaikan pembahasan RUU DKJ pada tanggal 3 April 2023, sebelum RUU tersebut dibawa ke rapat paripurna DPR.
RUU DKJ yang kompleks ditargetkan untuk dibahas cepat. Padahal, terdapat sejumlah substansi yang memerlukan pembahasan mendalam, beberapa di antaranya mengenai sistem pemilihan kepada daerah dan pengaturan mengenai kawasan aglomerasi, termasuk perubahan signifikan dalam struktur pemerintahan daerah Jakarta. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa proses pembahasan berlangsung dengan teliti dan tidak terburu-buru agar dapat mencapai produk hukum yang berkualitas dan memadai untuk kepentingan masyarakat dan pemerintahan daerah Jakarta secara keseluruhan serta mengedepankan aspek meaningful participation untuk membuka seluas-luasnya partisipasi publik dan masyarakat terdampak dalam pembahasan undang-undang.
Saat ini, terdapat dua isu krusial yang potensial berdampak pada kualitas demokrasi dan ketatanegaraan, yaitu sistem pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ serta proses pembahasan undang-undang yang tidak perlu serampangan.
Sistem Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ Tidak Perlu Diubah
Mekanisme sistem pemilihan gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta dalam RUU DKJ sejatinya tidak memerlukan perdebatan lebih lanjut. Dalam konteks ini, sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat telah terbukti efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan Jakarta dan merupakan pilihan yang tepat. Partisipasi langsung dari masyarakat Jakarta memungkinkan untuk menghasilkan tokoh-tokoh yang lebih representatif dan mendorong akuntabilitas yang lebih besar terhadap gubernur dan wakil gubernur yang terpilih. Pendekatan ini memungkinkan para pemilih untuk secara langsung memilih calon yang mereka percayai dapat mewakili kepentingan mereka dengan baik. Pemilihan langsung oleh penduduk Jakarta tidak hanya menjaga pengawasan yang kuat oleh masyarakat, tetapi juga memastikan DPRD tidak terjebak dalam benturan kepentingan saat melakukan pengawasan terhadap kinerja gubernur dan wakil gubernur daerah khusus Jakarta. Dengan mempertahankan sistem ini, transparansi dalam pemerintahan daerah dapat dipertahankan, dan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pemilihan serta pengawasan pemerintahan mereka. Maka dari itu, perlu untuk menjaga menjaga konsistensi dalam sistem pemilihan yang telah terbukti efektif untuk memastikan kelancaran dan keberlanjutan pemerintahan daerah Jakarta.
Lebih lanjut, pemilihan langsung oleh penduduk Jakarta mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasari sistem pemerintahan di Indonesia. Mengubah mekanisme ini dengan memindahkan proses pemilihan ke tangan DPRD Provinsi dapat mereduksi nilai-nilai demokrasi lokal, termasuk menghilangkan hak politik bagi penduduk Jakarta. Mengacu pada konstruksi Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945, kekhususan dan keistimewaan yang melekat pada tiap daerah, yang menghendaki daerah tertentu memperoleh kekhususan dalam menjalankan otonomi daerah disarikan dari pendekatan kultural historis daerah yang bersangkutan. Namun demikian, wilayah Jakarta tak cukup memiliki justifikasi dan urgensi kultural historis untuk melakukan pemilihan secara tidak langsung ataupun penunjukan yang tidak demokratis. Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, tanggal 26 Februari 2020 dan Nomor 85/PUU-XX/2022, 29 September 2022, menegaskan kembali sistem pemilihan kepala daerah yang seyogianya dipertahankan, yang berpegangan pada original intent perumusan sistem tersebut dalam perubahan UUD 1945, yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Atas dasar tersebut, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta secara langsung oleh rakyat adalah sudah tepat.
Pembentukan RUU DKJ Jangan Serampangan
Pasal 41 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara (UU IKN) menyatakan bahwa perubahan terhadap UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilakukan paling lambat 2 tahun sejak UU IKN disahkan. Ketentuan itu terlambat dilaksanakan oleh Presiden dan DPR, karena RUU DKJ sampai saat ini masih dibahas, padahal sudah melewati 15 Februari 2024 atau dua tahun sejak UU IKN disahkan. Keterlambatan itu menjadi potret buruk proses legislasi RUU DKJ, sebagai bagian dari grand desain proyek IKN, sekaligus memperpanjang bukti serampangannya pembentukan UU IKN yang terpaksa sudah harus direvisi dalam usianya yang belum genap 1 tahun melalui UU Nomor 21 Tahun 2023.
Keterlambatan pembentukan RUU DKJ tersebut bukan berarti pembahasannya harus terburu-buru. Pembentukan UU adalah proses demokrasi yang harus dijalankan secara deliberatif, yaitu mengutamakan proses transparansi dan partisipasi yang bermakna. Kewenangan Presiden dan DPR tidak dalam pembentukan UU tidak hanya melaksanakan rapat dan membahas secara internal, tetapi harus ada keterbukaan informasi publik, dan proses pembahasan yang melibatkan para pemangku kepentingan.
Dari segi pembahasan, DPR dan Presiden memiliki waktu selama tiga kali masa sidang dalam membahas suatu RUU, bahkan hal itu masih dapat diperpanjang sesuai dengan keputusan Rapat Paripurna DPR (Pasal 97 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020). Oleh karena itu, ketika Masa Persidangan IV 2023-2024 adalah masa sidang yang pertama dalam pembahasan RUU DKJ, maka masih ada 2 masa sidang yang dapat dimanfaatkan untuk memastikan adanya transparansi dan partisipasi yang bermakna dalam pembahasan RUU DKJ. Dua masa sidang ke depan berkisar dalam waktu sekitar empat bulan. Suatu periode waktu yang cukup jika DPR dan Presiden memiliki cukup itikad baik dalam menciptakan proses yang deliberatif dalam pembahasan RUU DKJ.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak:
- Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta tetap dipilih secara langsung melalui pemilihan umum oleh rakyat Jakarta;
- DPR dan Presiden untuk melakukan evaluasi terhadap serampangannya pembahasan UU IKN yang tidak memperhitungkan kebutuhan waktu yang tepat dalam pengesahan UU DKJ. Bahkan UU IKN sendiri sudah direvisi sebelum genap satu tahun pengesahannya;
- Pembahasan RUU DKJ oleh DPR dan Presiden tidak perlu dilakukan secara terburu-buru dan serampangan, tetap mengedepankan pembahasan secara komprehensif dan akuntabel, dengan mengedepankan proses yang transparan dan mewujudkan partisipasi publik yang bermakna.