DPR resmi membuka Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024 melalui Rapat Paripurna 5 Maret 2024. Masa Persidangan IV ini akan diselenggarakan dalam satu bulan ke depan, sampai 4 April 2024. Setelahnya DPR akan kembali menjalani masa reses sampai 13 Mei 2024. Masa persidangan ini menjadi lebih dinamis karena menjadi masa persidangan yang pertama setelah pemungutan suara Pemilu 2024. Agenda penggunaan Hak Angket terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2024 kejelasannya akan ditentukan di masa persidangan IV ini, selain pelaksanaan fungsi-fungsi lain, khususnya terkait dengan fungsi legislasi yang masih menyisakan sekitar 44 RUU prioritas yang belum diselesaikan oleh DPR.
Hak Angket Sebagai Sarana Mengungkap Dugaan Intervensi dan Penyalahgunaan Wewenang Presiden
Pada Rapat Paripurna DPR, 5 Maret 2024, Fraksi PKB dan PKS resmi mengangkat usulan Hak Angket terkait penyelidikan kecurangan dalam Pemilu 2024. Walaupun apa yang disampaikan belumlah usulan resmi, tetapi hal itu mengindikasikan bahwa sejumlah fraksi di DPR sedang berkonsolidasi dan merumuskan arah Hak Angket yang akan diajukan. Namun begitu, karena belum ada kejelasan arah, Hak Angket masih menjadi cek kosong, sehingga jangan sampai alih alih bermaksud menyelelidiki kecurangan dalam Pemilu justru digunakan untuk pengalihan isu agenda strategis lain. Di lain sisi, penggunaan Hak Angket itu menjadi langkah yang berbeda dari Pemeriksaan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Mahkamah Konstitusi yang akan fokus kepada perolehan suara para peserta Pemilu.
Penyelenggaraan Pemilu 2024 terus memperlihatkan adanya serangkaian kecurangan yang memunculkan kekhawatiran serius terkait integritas proses demokrasi. Berbagai laporan dan bukti menunjukkan adanya intervensi kekuasaan, ketidaknetralan aparat, dan upaya-upaya untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Kondisi ini menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi yang seharusnya menjadi cermin keadilan dan partisipasi rakyat. Hak Angket yang akan diajukan sejumlah fraksi di DPR harus diarahkan terhadap dugaan intervensi dan ketidaknetralan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Keberlanjutan situasi ini membawa dampak negative, tidak hanya terhadap kredibilitas pemilu, tetapi juga terhadap fondasi demokrasi secara keseluruhan. Perlu upaya serius untuk memulihkan kepercayaan publik, mengoreksi pelanggaran yang terjadi, dan memastikan bahwa setiap warga negara merasa memiliki andil yang adil dalam menentukan masa depan negara melalui proses demokrasi. Hal itu perlu diupayakan dengan menunjukan adanya kekuasaan yang dapat mengimbangi kekuasaan Presiden, yaitu dalam hal ini DPR, yaitu dengan menggulirkan Hak Angket.
Presiden tidak memberikan teladan yang diharapkan dalam mengamankan integritas Pemilu 2024. Dugaan penyalahgunaan kewenangan dan intervensi terhadap pemilu mencuat bahkan sebelum masuk tahapan pemilu. Misalnya, penggunaan informasi Badan Inteligen Negara untuk kepentingan elektoral, pemekaran 3 provinsi baru di Papua untuk memperoleh keuntungan elektoral, ataupun penunjukan penjabat kepala daerah untuk mengamankan kemenangan pemilu di daerah tertentu. Praktik lain terjadi saat tahapan pemilu, seperti kebijakan pembagian Bantuan Sosial (Bansos) oleh Presiden yang diduga melanggar Pasal 282 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena menguntungkan salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dugaan lain, adanya ketidaknetralan dari ASN dan aparat penegak hukum. Presiden sendiri pada saat ini berada dalam potensi konflik kepentingan yang tinggi karena salah satu pasangan calon presiden merupakan menteri aktif dan calon wakil presiden merupakan anak Presiden Jokowi. Konflik kepentingan merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sikap keberpihakan dirasakan dalam tindakan-tindakan Presiden memberikan dampak serius terhadap proses demokrasi. Kehadiran dugaan-dugaan ini semakin mengguncangkan kepercayaan masyarakat pada integritas pemilu dan menyoroti perlunya penelitian mendalam untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum.
Dugaan pelanggaran, ketidaknetralan, dan kurangnya akuntabilitas telah meruncing, memicu publik menuntut DPR turun tangan menggunakan hak angket untuk menyelidiki lebih lanjut berbagai informasi tersebut. Hal ini juga menandakan tingginya tingkat ketidakpercayaan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara Pemilu. Terdapat kekhawatiran yang mendalam terkait kinerja dan transparansi kedua lembaga tersebut dalam mengawal proses pemilihan. Kepercayaan publik terhadap KPU dan Bawaslu menjadi krusial untuk legitimasi hasil pemilu. KPU dan Bawaslu, sebagai lembaga penyelenggara yang seharusnya menjadi penjaga integritas Pemilu 2024, kini mendapat catatan yang mengkhawatirkan. Pelbagai keluhan dan laporan tentang ketidaknetralan, kebijakan yang kontroversial, serta keraguan terhadap integritas penyelenggaraan pemilihan menciptakan tuntutan kuat untuk menilai ulang peran dan fungsi kedua lembaga ini.
Hak Angket sendiri merupakan hak konstitusional DPR yang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yaitu:
“Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”
Dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR (Tata Tertib DPR) disebutkan bahwa hak angket adalah
“Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
Dari kedua ketentuan itu, dapat diketahui bahwa objek dari hak angket oleh DPR dan penyelesaian sengketa PHPU oleh MK berbeda. Hak angket fokus kepada pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan Pemerintah, sedangkan PHPU MK fokus spesifik kepada sengketa hasil Pemilu.
Desakan penyelenggaraan hak angket sejatinya bukan ditujukan pada hasil pemilu, melainkan pada pelaksanaan undang-undang dan kebijakan Pemerintah, terutama yang berkaitan dengan indikasi intervensi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Presiden dan sederetan Menteri aktif untuk memberikan keuntungan elektoral bagi kandidat calon presiden dan wakil presiden tertentu. Dorongan ini merupakan tanggung jawab DPR dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya, yakni menjalankan sistem checks and balances dan meminta pertanggungjawaban Presiden atas kebijakan dan tindakan yang dijalankan untuk kepentingan elektoral.
Lebih lanjut, Pasal 182 ayat (1) Tata Tertib DPR mengatur bahwa Hak Angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang Anggota DPR yang berasal lebih dari 1 fraksi. Usulan itu disampaikan kepada Pimpinan DPR untuk selanjutnya diajukan di Rapat Paripurna. Usulan tersebut akan menjadi Hak Angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri oleh ½ jumlah Anggota DPR, dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari ½ jumlah Anggota DPR yang hadir. Teknis tersebut sudah harus diupayakan oleh para fraksi yang mendukung Hak Angket di awal pembukaan masa sidang yang akan dibuka pada 5 Maret 2024. Momentum pada awal masa sidang akan menjadi penentu komitmen dari fraksi-fraksi yang selama ini menyuarakan penggunaan Hak Angket dalam mengungkap kecurangan dalam Pemilu 2024.
Agenda Strategis Lain dalam Masa Persidangan DPR Saat Ini
Dinamika pengajuan Hak Angket DPR di Masa Persidangan saat ini masih tanda tanya, DPR belum menunjukan suara yang bulat untuk menggulirkan Hak tersebut. Oleh karena itu, perhatian terhadap jalannya Masa Persidangan IV DPR saat ini tidak bisa hanya difokuskan kepada Hak Angket, tetapi juga berbagai fungsi lain, khususnya fungsi legislasi.
DPR masih menyisakan 44 RUU prioritas yang belum dituntaskan di tahun 2024. Beberapa RUU diantaranya sudah mendapatkan perhatian publik, misalnya RUU Daerah Khusus Jakarta dan RUU Desa. Selain itu, masih ada RUU lain yang juga penting dipantau perkembangannya seperti RUU Pertanahan, RUU Revisi KUHAP, RUU Hukum Acara Perdata, sampai RUU Perubahan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam RUU prioritas 2024 juga ada tiga RUU yang sangat dinanti oleh publik, yaitu RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Hukum Adat, dan RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana.
Keseluruhan proses legislasi penting untuk dipantau oleh publik, terlebih dalam Masa Persidangan pasca Pemilu 2024 ini rentan dijadikan sarana transaksional karena konfigurasi kepentingan cenderung terkonsolidasi. Apabila dibandingkan dengan Masa Persidangan dalam periode yang sama lima tahun lalu, jumlah capaian RUU yang disahkan sebelum pengumuman hasil Pemilu, pada Mei 2019, adalah sebanyak 3 RUU, sednagkan yang disahkan setelah Pemilu 2019 mencapai 11 RUU. Kondisi yang berpotensi terjadi kembali pada 2024, dimana hanya menyelesaikan 3 RUU sebelum Pemilu 2024, dan berpotensi mensahkan jauh lebih banyak setelah Pemilu 2024. Capaian RUU yang banyak harus diimbangi dengan kualitas partisipasi dan transparansi yang baik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mendesak:
- Fraksi-fraksi di DPR yang menyuarakan pengguna Hak Angket untuk segera mengajukan usul Hak Angket di awal masa sidang yang telah dibuka pada 5 Maret 2024;
- DPR menggunakan Hak Angket untuk menyelidiki pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengindikasikan Presiden mengambil kebijakan yang menguntungkan salah satu paslon Presiden dan Wakil Presiden, dugaan Presiden terlibat konflik kepentingan, dan tidak netralnya ASN serta aparat penegak hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2024; dan
- Presiden, KPU, dan Bawaslu menggunakan momentum Hak Angket di DPR untuk membuka informasi seluas-luasnya untuk menjawab berbagai dugaan atas terjadinya kecurangan dalam Pemilu 2024.
- DPR tidak menjadikan Hak Angket sebagai pengalihan itu untuk membuat pembahasan sejumlah RUU secara tertutup.
- Fraksi-fraksi di DPR harus menjamin pembahasan RUU terbuka dan partisipatif, serta memprioritaskan RUU yang didorong oleh publik, seperti RUU PPRT, RUU Masyarakat Hukum Adat, dan RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana.