Siaran Pers Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Terkait Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja
Proses legislasi UU Cipta Kerja merupakan praktik buruk legislasi yang terus berulang setelah pengesahan UU Minerba, revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan revisi UU Mahkamah Konstitusi. Pengesahan RUU Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna DPR pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin tidaklah mengagetkan, mengingat hampir setiap minggu publik mendapat kabar bahwa pembahasan materi RUU Cipta Kerja terus melaju tanpa dapat terbendung, meskipun gelombang penolakan terus menguat. Praktik buruk legislasi ini bertolak belakang dengan tujuan DPR dan Presiden ketika memulai pembahasan RUU Cipta Kerja, yaitu melakukan penataan regulasi. Sulit berharap lebih banyak pada DPR dan Presiden periode saat ini untuk terciptanya proses legislasi yang lebih baik.
Proses pembentukan UU Cipta Kerja menunjukan bahwa DPR tidak sedang menjalankan dengan baik fungsi legislasi yang dimilikinya. Reformasi mengamanatkan adanya penguatan fungsi legislasi DPR dengan memberikan kekuasaan legislasi lebih condong ke DPR. Namun, DPR saat ini lebih menjalankan perannya sebagai pemberi stempel terhadap kebijakan pemerintah. Kontrol terhadap usulan Presiden tidak dijalankan secara optimal. Alih-alih melakukan pengawasan terhadap kebijakan Presiden dalam penanganan COVID 19, DPR malah mengurusi legislasi yang masih dapat ditunda sampai pandemi berlalu, dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan UU kembali membaik. Selain itu, DPR juga menciderai fungsi repesentasinya. Pembahasan RUU dilakukan tanpa membuka dialog dengan publik secara terbuka. Bahkan mendiamkan saat Presiden melalui aparatnya menekan publik menyampaikan aspirasinya.
Proses yang tidak transparan dan partisipatif menjadi warna yang tidak dapat dihilangkan dalam menggambarkan proses pembentukan UU Cipta Kerja. Proses legislasi dilakukan secara tergesa, dan abai untuk menghadirkan ruang demokrasi. Ada 3 argumentasi yang menggambarkan hal tersebut, yaitu pertama, pembahasan RUU pada masa reses dan di luar jam kerja; kedua, tidak adanya draft RUU dan risalah rapat yang disebarluaskan kepada masyarakat; dan ketiga, tidak adanya mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dalam Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
Rapat pembahasan RUU Cipta Kerja tercatat sempat dilakukan dalam masa reses dan diluar hari kerja, selain juga sempat dilakukan di hotel, di luar Gedung DPR. Pada Pasal 1 angka 13 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR) menyebutkan bahwa masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja. Sedangkan Pasal 254 ayat (1) Tatib DPR menyebutkan bahwa waktu-waktu rapat DPR mencakup hari kerja, yaitu Senin sampai Jumat. Pelaksanaan rapat dalam masa reses, di luar waktu rapat, dan di luar Gedung DPR memang dimungkinkan, tetapi atas dasar kesepakatan dalam rapat atau persetujuan Pimpinan DPR. Pertimbangan atas kesepakatan dan persetujuan pelaksanaan rapat DPR dalam masa reses, di luar waktu rapat serta di luar Gedung DPR inilah yang tidak pernah dipublikasikan kepada publik, sehingga tidak dapat diketahui mengapa pembahasan RUU Cipta Kerja begitu cepat dan cenderung dipaksakan, padahal substansi pengaturannya sangat kompleks dan mencakup beragam isu.
Perlu dicatat juga pernyataan dari DPR bahwa penyegeraan pembahasan RUU Cipta Kerja ini karena situasi pandemi COVID 19. Transparansi akan pertimbangan pengambilan kesepakatan rapat dan persetujuan Pimpinan DPR ini penting mengingat belum lama ini DPR dan Pemerintah sepakat untuk mengeluarkan beberapa RUU dari daftar prioritas 2020, dengan alasan tidak cukup waktu pembahasan. Masih segar dalam ingatan kita RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sebetulnya mendapat dorongan publik yang kuat untuk segera diselesaikan, tetapi justru ditunda pembahasannya. Selain itu, ada juga berbagai RUU yang pembahasannya terus tertunda dari tahun ke tahun, yang apabila dikerjakan dengan metode kerja dalam pembahasan RUU Cipta Kerja bukan tidak mungkin dapat diselesaikan.
Preseden pembahasan yang ugal-ugalan sudah terjadi sejak awal pembahasan RUU Cipta Kerja, yaitu ketika pada Rapat Kerja pertama pembahasan RUU Cipta Kerja langsung membentuk Panitia Kerja. Padahal pada saat itu fraksi-fraksi di DPR belum rampung menuntaskan Daftar Inventaris Masalah (DIM). Seharusnya, berdasarkan Pasal 151 ayat (1) Tatib DPR, Panja dibentuk setelah Rapat Kerja selesai dilakukan. Juga menurut Pasal 154 ayat (1) menjelaskan bahwa Rapat Kerja membahas seluruh materi RUU sesuai DIM dari setiap fraksi di DPR atau DPD apabila RUU terkait dengan kewenangannya. Tahapan inilah yang tidak terlihat dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR. Selain itu, pembentukan Panja juga terburu-buru karena pada saat itu belum dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum yang seharusnya banyak dilakukan pada tingkat Rapat Kerja seusai dengan Pasal 156 ayat (1) Tatib DPR.
Tertutupnya ruang demokrasi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja disebabkan juga karena ruang partisipasi yang minim. Ruang-ruang yang terbuka hanya formalitas tanpa makna. Rapat-rapat yang disiarkan langsung hanya yang bersifat pemaparan, bukan pengambilan keputusan. Selain itu, makna partisipasi tidak dapat dirasakan karena masyarakat tidak diberikan informasi yang cukup terkait dengan substansi RUU yang sedang dibahas dan catatan-catatan atau risalah rapat sebelumnya, sehingga sulit untuk dapat memantau rapat dengan baik. Padahal penyebarluasan risalah rapat adalah kewajiban bagi DPR yang tertulis dalam Pasal 302 ayat (3) Tatib DPR yang menyatakan bahwa risalah rapat yang bersifat terbuka dipublikasikan melalui media elektronik dan dapat diakses oleh masyarakat. Penyebarluasan draft RUU kepada masyarakat juga adalah kewajiban dari pembentuk UU yang tercantum dalam Pasal 96 ayat (4) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ketiadaan draft RUU terbaru yang disebarluaskan menyebabkan adanya berbagai substansi RUU Cipta Kerja yang lepas dari pantauan publik. Hal itu ditambah dengan jumlah pasal yang banyak dan format penulisan RUU Cipta Kerja dengan format omnibus yang menyulitkan untuk dipahami, terutama bagi masyarakat yang tidak terbiasa membaca format peraturan. Salah satu substansi yang baru masuk belakangan dan kemudian tidak banyak terbahas adalah pengaturan mengenai pajak, yang terkait dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo UU Nomor 16 Tahun 2009; UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. UU Nomor 36 Tahun 2008; dan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah jo. UU Nomor 42 Tahun 2009. Keseluruhan penambahan pasal di tengah jalan ini patut mendapat pertanyaan, apa urgensi dan bagaimana para pemangku kepentingan terkait memberikan masukan terhadap ketentuan ini. Dengan proses pembahasan yang tidak transparan, maka potensi penambahan atau pengurangan pasal dalam RUU Cipta Kerja seperti ini sangat mungkin terjadi tanpa terdeteksi. Selain itu, penambahan ruang lingkup pengaturan dalam RUU Cipta Kerja ini menunjukan bahwa sesungguhnya perencanaan dan desain RUU Cipta Kerja belumlah terintegrasi secara solid sejak awal.
Pengambilan keputusan pengesahan RUU Cipta Kerja dalam Sidang Paripurna DPR juga patut dipertanyakan. Alur pengesahan RUU Cipta Kerja sejak awal dibawakan seolah semua fraksi setuju, dan tidak terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat terlihat nyata ketika Fraksi Partai Demokrat memaksa Pimpinan Sidang untuk memberikan kesempatan kepada setiap Fraksi untuk menyampaikan pendapat akhirnya satu per satu. Dari tahap itu terdengar bahwa Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tegas menolak RUU Cipta Kerja untuk disahkan. Dalam situasi ini seharusnya yang dilakukan oleh Pimpinan Sidang Paripurna adalah merujuk kepada Pasal 308 ayat (3) yang menyebutkan bahwa apabila pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat tidak tercapai, maka dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Dalam konteks ini seharusnya suara orang per orang anggota DPR diperhitungkan, sehingga tidak otomatis dianggap sebagai satu kesatuan fraksi semata, karena seorang anggota DPR merupakan representasi dari konstituennya, dan tanggungjawab itu harus dihormati.
Selain itu, keabsahan pengambilan keputusan dalam Sidang Paripurna DPR pengesahan RUU Cipta Kerja pun patut dipertanyakan melihat banyaknya anggota DPR yang tidak hadir dalam Sidang Paripurna DPR untuk memutuskan peraturan sepenting RUU Cipta Kerja. Dalam hal ini DPR harus mampu membuktikan bahwa keputusannya dalam Sidang Paripurna DPR untuk mengambil keputusan pengesahan RUU Cipta Kerja telah memenuhi kuorum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, PSHK mendesak agar:
- DPR menyebarluaskan seluruh risalah dan catatan dari setiap rapat atau sidang yang dilakukan dalam membahas RUU Cipta Kerja;
- DPR sesegera mungkin menyebarluaskan draft terakhir RUU Cipta Kerja yang disahkan menjadi UU Cipta Kerja;
- DPR dan Presiden melakukan evaluasi dalam penggunaan metode omnibus dalam penyusunan peraturan-perundang-undangan ke depan;
- DPR dan Presiden untuk menghentikan seluruh agenda legislasi mengingat gagalnya DPR dan Presiden menciptakan ruang partisipasi publik yang maksimal di tengah Pandemi COVID 19; dan
- DPR fokus untuk melakukan pengawasan penanganan COVID 19 oleh Pemerintah, dan menjadi bagian dari upaya tersebut dengan memastikan kebijakan-kebijakan Pemerintah berdampak kepada seluruh masyarakat Indonesia.