Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden kembali mencuat setelah beberapa partai politik koalisi Pemerintah, yaitu Golkar, PKB, dan PAN menyampaikan pendapat kepada media agar Pemilu 2024 ditunda selama 1 sampai 2 tahun. Wacana penundaan pemilu tersebut amatlah problematik karena tidak memiliki kepada alas argumentasi konstitusional yang kuat. Argumen yang diajukan para pengusung melainkan lebih kepada kepentingan politik praktis dan ekonomi jangka pendek yang sedang digarap elit penguasa. Wacana tersebut juga membawa potensi imbas lain, yaitu bertambahnya masa jabatan Presiden serta lembaga lain yang dipilih melalui Pemilu seperti MPR, DPR, DPD, DPRD, bahkan Kepala Daerah. Alih-alih memfokuskan perannya dalam pengawasan kinerja Pemerintah di tengah masa Pandemi COVID-19, agar dapat menyelesaikan tugas-tugasnya tepat waktu sesuai ketentuan dalam Konstitusi, partai politik yang merupakan bagian dari fraksi di DPR tersebut justru mengusulkan jalan yang melenceng dari koridor peraturan perundang-undangan.
Jika terealisasi, usulan ini jelas bentuk pelanggaran terhadap Konstitusi. Sebab Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa Pemilu dilakukan lima tahun sekali dan pada Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden bersifat tetap (fix term) yakni lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Terlebih konstitusi kita tidak membuka ruang adanya penundaan pelaksanaan Pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Penundaan Pemilu tersebut juga berpotensi mencoreng muka bangsa karena ingkar pada komitmen dalam bernegara yang tertuang dalam Konstitusi. Selain itu, penundaan Pemilu juga sama artinya menunda regenerasi kepemimpinan yang seharusnya terus berjalan demi menghindari kekuasaan yang terlalu panjang yang berpotensi membuka praktik korupsi.
Perubahan Konstitusi dengan tujuan hanya untuk menunda Pemilu dan menambah masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, baik melalui jalur formal ataupun informal, adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai demokrasi yang ada dalam konstitusi. Padahal nilai-nilai konstitusionalisme justru bertujuan untuk membatasi kekuasaan, menjamin hak asasi manusia, dan mengatur struktur fundamental ketatanegaraan. Oleh karena itu, tidak tepat Konstitusi diubah hanya untuk menunda pelaksanaan Pemilu. Perpanjangan pemilu seolah menegaskan bahwa tujuan bernegara adalah demi kekuasaan, bukan sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Selain itu, Keadaan darurat tidak serta merta dapat dijadikan alasan untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Perlu dipahami bahwa setiap periode Presiden dan Wakil Presiden memiliki tantangannya tersendiri dalam merealisasikan program-programnya, dan tentunya memiliki strategi masing-masing dalam menjalankan tantangan itu dalam periode waktu yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan menjalankan masa pemerintahan pada masa darurat kesehatan saat ini, seharusnya Presiden beserta jajaran dan partai politik sebagai bagian dari fraksi di DPR mencari jalan keluar yang dapat dilaksanakan pada kurun waktu dua tahun ke depan sebelum periode berakhir, bukan justru lebih sibuk mewacanakan perpanjangan waktu periode pemerintahan.
Merespon wacana yang melawan Konstitusi tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak:
- Presiden dan seluruh partai politik yang menjadi fraksi di DPR untuk bersikap setia dan bertanggungjawab dalam menjalankan ketentuan-ketentuan Konstitusi, termasuk menjalankan Pemilu tepat waktu dan tidak berupaya untuk memperpanjang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
- Para elit politik dan tokoh masyarakat agar memberikan teladan kepada publik dan menunjukkan etika bernegara sebagai bagian dari tanggung jawab jabatan.
- Presiden, Wakil Presiden, dan DPR sebaiknya fokus pada pekerjaan rumah yang belum selesai dalam waktu 2 tahun ke depan sebelum Pemilu dilaksanakan. Adapun pekerjaan rumah yang dimaksud adalah membawa Indonesia keluar dari darurat kesehatan akibat Covid-19, mempercepat pemulihan ekonomi, menyelesaikan persoalan perampasan tanah dan pelanggaran HAM lainya, termasuk meningkatkan kerja legislasi DPR yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.