Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
DPR dan Presiden saat ini sedang membahas RUU Perubahan terhadap UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (RUU Kejaksaan). RUU ini menjadi salah satu prioritas untuk disahkan pada 2021. Namun begitu terlihat masih banyak materi muatan dalam RUU Kejaksaan yang masih perlu untuk diubah, khususnya untuk tujuan memperkuat independensi dan inklusifitas lembaga ini. Berdasarkan RUU Kejaksaan per 20 April 2021 terlihat masih minim gagasan untuk pembaruan kelembagaan Kejaksaan, dan cenderung semakin mengeksklusifkan Kejaksaan sebagai bagian dari lembaga penegak hukum.
Dalam kesempatan RDPU dengan Komisi III DPR, PSHK membawa lima lingkup usulan terhadap RUU Kejaksaan. Kelima persoalan itu terkait dengan pembatasan kewenangan penyadapan, penghapusan kewenangan pengawasan multimedia, peningkatan indenpedensi Jaksa Agung, pengawasan eksternal Kejaksaan, dan peningkatan inklusifitas profesi Jaksa. Adapun penjelasan dari kelima isu itu adalah sebagai berikut.
Pertama, kewenangan penyadapan sebagaimana yang terdapat Pasal 30C huruf k RUU Kejaksaan berpotensi disalahgunakan dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). DPR dan Presiden seharusnya menyelesaikan terlebih dahulu RUU Penyadapan, untuk menentukan prosedur dan batasan-batasan pelaksanaan penyadapan. Dalam RUU Penyandapan itu pula baru dapat ditentukan lembaga negara mana saja yang terlibat dalam pelaksanaannya, sehingga tidak diatur secara parsial. UU Penyadapan ini juga lebih urgen untuk terlebih dahulu disahkan karena secara tersirat menjadi bagian dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XVII/2019. Ada tiga syarat yang perlu dipastikan dalam prosedur penyadapan, yaitu dilaksanakan dalam lingkup penegakan hukum, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dan perlu ada keterlibatan pengadilan dalam memberikan izin pelaksanaan. Sebagai contoh: dalam Pasal 77 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa penyadapan oleh penyidik BNN dilakukan setelah mendapat izin ketua pengadilan. Sedangkan dalam Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara mengatur bahwa penyadapan dilakukan dengan penetapan ketua pengadilan negeri. Oleh karena itu, DPR dan Presiden seharusnya menghapus kewenangan penyadapan dalam RUU Kejaksaan selama UU Penyadapan belum disahkan, atau mengatur secara lengkap prosedur, batasan-batasan pelaksanaan, dan lembaga-lembaga yang terkait dengan pelaksanaan penyadapan dalam RUU Kejaksaan.
Kedua, Kejaksaan sudah tidak relevan untuk memiliki kewenangan pengawasan multimedia, karena kewenangan itu saat ini sudah dimiliki oleh lembaga lain, sedangkan Kejaksaan cukup berperan apabila hasil pengawasan masuk dalam lingkup penegakan hukum. Pengawasan multimedia sendiri sudah dilaksanakan oleh lembaga seperti Dewan Pers dalam lingkup pengawasan pelaksanaan kode etik jurnalistik (Pasal 15 ayat (2) huruf c); dan oleh Komisi Penyiaran Indonesia dalam lingkup pengawasan pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (pasal 8 ayat (2) huruf c). Sedangkan untuk buku, berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, Kejaksaan berperan dalam pengawasannya dengan catatan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik dengan tetap menjaga kebebasan berekspresi dan berkreasi (Pasal 69 ayat (4)). Selain itu, kewenangan pengawasan buku tidak dapat dilepaskan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang menegaskan bahwa pengawasan substansi barang cetakan harus sudah dalam lingkup penegakkan hukum, bukan semata ketertiban umum. Oleh karena itu, seharusnya DPR dan Presiden menghapus kewenangan pengawasan multimedia dari RUU Kejaksaan dan memfokuskan kewenangan Kejaksaan pada aspek penegakan hukum.
Ketiga, independensi Jaksa Agung harus diperkuat dalam RUU Kejaksaan, sebab Jabatan Jaksa Agung memegang amanat pelaksanaan penegakkan hukum, sehingga tidak seharusnya bergantung kepada jabatan politik seperti Presiden. Pengisian jabatan Jaksa Agung seharusnya tidak dipilih melalui penunjukan oleh Presiden, tapi melalui suatu mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif, yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, mekanisme pemberhentiannya pun tidak bergantung kepada keinginan dan masa jabatan Presiden, tetapi harus diberikan masa jabatan yang tetap dan dapat diberhentikan karena terbukti melakukan tindak pidana atau pelanggaran kode etik. Proses pemberhentian Jaksa Agung juga dilakukan dalam suatu mekanisme yang transparan dan akuntabel oleh suatu lembaga independent, dalam hal ini dapat diberikan kewenangannya kepada Komisi Kejaksaan.
Keempat, untuk meningkatkan kualitas kinerja dan independensi Kejaksaan perlu ada penguatan terhadap mekanisme pengawasan eksternal di RUU Kejaksaan. Dalam UU Kejaksaan hanya terdapat satu pengaturan mengenai komisi yang bertugas mengawasi Kejaksaan dari luar, dalam hal ini lembaga yang dimaksud adalah Komisi Kejaksaan, yaitu dalam Pasal 38 yang berbunyi, “Untuk meningkatkan kinerja Kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden”. Pasal itu masih dipertahankan dalam RUU Kejaksaan, tetapi kata “dapat” dihilangkan, sehingga pembentukan Komisi Kejaksaan bukan lagi pilihan, tetapi sudah suatu tugas bagi Presiden untuk membentuknya. Penghapusan kata “dapat” merupakan bentuk penguatan, tetapi belum menyeluruh. Penguatan terhadap Komisi Kejaksaan memerlukan beberapa Pasal tambahan dalam RUU Kejaksaan, yaitu mengatur perihal kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan; kenaggotaan; serta organisasi dan tata kerja.
Penguatan terhadap pengawasan eksternal Kejaksaan perlu didorong mengingat dalam periode 2017-2020 Ombudsman menerima 552 pengaduan masyarakat tentang Jaksa dalam konteks penanganan kasus, tindakan sewenang-wenang dalam penanganan perkara, penyimpangan, dan pelanggaran kode etik. Selain itu, dalam periode 2019-200 juga Kejaksaan sendiri menerima 524 laporan masyarakat yang kemudian diselesaikan melalui prosedur pengawasan internal. Data itu menunjukan bahwa aspek pengawasan perlu dikuatkan, dan beban itu sebaiknya dijalankan oleh lembaga eksternal Kejaksaan yang khusus diberikan kewenangan oleh UU.
Kelima, Profesi Jaksa dan jabatan Jaksa Agung harus inklusif terhadap setiap orang yang mampu menjalankan tugas. Oleh sebab itu, penting untuk menghilangkan syarat menjadi Jaksa dan Jaksa Agung yang bersifat diskriminatif. Syarat yang dimaksud adalah “sehat jasmani dan rohani” sebagaimana diatur pada Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 20 ayat (1) huruf e. Syarat itu cenderung diskriminatif karena menghambat seseorang dengan disabilitas untuk menjadi Jaksa atau Jaksa Agung. Padahal setiap orang harus dilhat dari kapasitas dirinya untuk menjalankan tugas, bukan dari kondisi fisik atau mentalnya. Adapun hambatan yang dialami penyandang disabilitas dalam berinteraksi dan mengerjakan aktivitasnya sudah seharusnya diupayakan untuk dihilangkan dengan penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Untuk itu, PSHK mengusulkan untuk mengganti kata “sehat” menjadi “mampu” atau menambahkan penjelasan pada Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 20 ayat (1) huruf e yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani termasuk kondisi disabilitas.