Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Menteri Kesehatan resmi mengesahkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID 19 pada Jumat 3 April 2020. Alih-alih mempercepat, justru peraturan tersebut malah menambah rentang birokrasi dan cenderung keluar dari mandat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Wilayah sehingga berpotensi semakin lambatnya penanganan COVID 19 oleh Pemerintah.
Birokrasi yang semakin panjang terlihat dalam tata cara penetapan status PSBB sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Permenkes 9/2020 yang mewajibkan pemerintah daerah untuk mengajukan permohonan berdasarkan sejumlah data, yaitu peningkatan kasus menurut waktu, penyebaran kasus menurut waktu dan laporan transmisi lokal. Padahal, Pemerintah Pusat sudah melakukan penghimpunan dan pengolahan data-data tersebut pada setiap wilayah di Indonesia berdasarkan laporan setiap laboratorium tes COVID 19 yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Bahkan setiap hari Pemerintah mengumumkan data tersebut ke publik melalui juru bicaranya.
Artinya, seharusnya Kementerian Kesehatan sudah memiliki data mengenai daerah mana saja yang sudah mendesak untuk menyelenggarakan PSBB atau bahkan sudah harus melakukan karantina wilayah. Sehingga untuk menunggu permohonan dari pemerintah daerah dalam menetapkan PSBB (Pasal 6 ayat (1) PP 21/2020 jo. Pasal 3 ayat (1) Permenkes 9/2020) akhirnya memperpanjang birokrasi. Jalur birokrasi pun menjadi semakin panjang karena apabila mengacu pada Pasal 7 Permenkes 9/2020 diatur bahwa usulan atau permohonan dari pemerintah daerah itu akan dikaji kembali oleh tim yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan, yang saat ini sudah dibentuk melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/231/2020 tentang Tim Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID 19. Tim Penetapan beranggotakan 48 orang lintas instansi, sehingga menjadi tantangan berikutnya untuk menentukan teknis pelaksanaan koordinasi sampai pengambilan keputusan apakah permohonan yang diajukan oleh pemerintah daerah akan direkomendasikan diterima atau tidak.
Penyebaran COVID 19 saat ini sudah tidak mampu dibatasi oleh sekat wilayah, sehingga usulan sudah tidak mungkin dilakukan oleh 1 wilayah tertentu saja, tetapi sudah harus ditentukan secara nasional. Dalam hal ini, mengacu pada Pasal 9 ayat (2) Permenkes 9/2020, pemerintah daerah harus memiliki peran dengan dilibatkan oleh Pemerintah Pusat dalam memastikan kesiapan daerah melaksanakan PSBB, terutama dalam ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan, ketersediaan anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial untuk rakyat terdampak, dan aspek keamanan. Apabila pemerintah daerah menyatakan ada ketidaksiapan dari salah satu aspek tersebut, maka Pemerintah Pusat wajib menyediakannya.
Panjangnya birokrasi dalam penetapan PSBB oleh Menteri Kesehatan juga terjadi karena adanya peran Gugus Tugas dalam memberikan usulan dan memberikan rekomendasi atas usulan dari pemerintah daerah. Apabila merujuk kepada Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020, Menteri Kesehatan dan Gubernur seluruh Indonesia sebetulnya sudah menjadi bagian dalam struktur keanggotaan Gugus Tugas, sehingga tidak efektif apabila secara kelembagaan Gugus Tugas ini juga diberikan peran dalam proses penetapan PSBB. Apabila Gugus Tugas ingin mendapat peran maksimal, maka sebaiknya Gugus Tugas dijadikan sebagai forum pengambilan keputusan, karena pihak-pihak strategis sudah berkumpul disana. Bahkan akan lebih efektif apabila Menteri Kesehatan yang menjadi Ketua Gugus Tugas, karena saat ini yang terjadi adalah kondisi kedaruratan kesehatan, bukan kedaruratan bencana.
Kebijakan Pemerintah Terkait COVID 19 dan Peran DPR
Panjangnya birokrasi dalam penetapan PSBB oleh Menteri Kesehatan ini bertolak belakang dengan kampanye pemangkasan birokrasi yang rajin disuarakan oleh Presiden Joko Widodo dalam isu investasi. Logika terbalik Pemerintah ini harus mendapat respon dari DPR sebagai pemegang fungsi pengawasan dan penyeimbang dari kekuasaan eksekutif. DPR harus mampu melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif dengan percepatan penanganan COVID 19.
DPR harus fokus melakukan pengawasan kebijakan-kebijakan tersebut, sekaligus segera membahas Perpu Nomor 1 Tahun 2020, dan mendesak Pemerintah untuk segera mengajukan usulan revisi terhadap APBN untuk mengalihkannya kepada penanganan COVID 19. Kemudian, DPR juga harus menunda semua agenda legislasi yang pelaksanaannya hanya akan memecah fokus dari Pemerintah dalam penanganan COVID 19.
Masyarakat kini sedang berjuang melawan COVID 19, sehingga tidak mungkin fokus berperan aktif dan mengawal pembentukan UU. Seharusnya, hal menjadi dasar bagi DPR menunda seluruh agenda legislasi yang tidak berhubungan langsung dengan penanganan COVID 19. Tetap menjalankan agenda legislasi dengan pendekatan business as usual akan semakin menguatkan kesan bahwa DPR memanfaatkan kesempatan ketika masyarakat kesusahan melawan COVID-19. Apalagi tercatat agenda legislasi yang dikedepankan DPR seperti RUU Omnibus Cipta Kerja, RKUHP, RUU ESDP dan RUU Pemasyarakatan masih menyimpan begitu banyak permasalahan; baik dari sisi teknis maupun materi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak:
- Menteri Kesehatan untuk segera merevisi Permenkes 9/2020 dengan memangkas birokrasi dalam penetapan PSBB, yaitu dengan menjadikan usulan pemerintah daerah untuk penetapan PSBB lebih sederhana, dengan menjadikan data jumlah dan persebaran kasus COVID 19 diambil dari data nasional; dan menjadikan Gugus Tugas sebagai forum koordinasi dan pengambilan keputusan wilayah mana saja yang layak diberlakukan PSBB, atau bahkan karantina wilayah;
- Presiden untuk melakukan restrukturisasi dalam Gugus Tugas dengan menempatkan Presiden/Wakil Presiden atau Menteri Kesehatan sebagai Ketua Gugus Tugas demi efektivitas dan akuntabilitas kerja Gugus Tugas dalam pengambilan kebijakan, serta menyesuaikan dengan status Kedaruratan Kesehatan yang sudah ditetapkan melalui Keppres 11 Tahun 2020, dan bukan darurat bencana; dan
- DPR untuk menghentikan seluruh agenda legislasi kecuali pembahasan Perpu 1 Tahun 2020; dan fokus untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan percepatan penanganan COVID 19, dan mendesak Pemerintah segera mengajukan usul revisi APBN 2020, untuk direalokasikan kepada penanganan COVID 19.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
5 April 2020
Foto: Beritasatu Photo / Dina Manafe