Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), serta DPD RI menyetujui 38 rancangan undang-undang (RUU) masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 pada Selasa (20/9/2022) lalu. Dari jumlah tersebut, DPR menjadi pengusul terbanyak dengan 25 RUU, Pemerintah 10 RUU, dan DPD dengan 3 RUU.
Terdapat empat hal yang perlu menjadi perhatian publik. Pertama, 38 RUU yang menjadi target prioritas 2023 adalah target muluk yang nyaris tak mungkin tercapai. Berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), DPR bersama Pemerintah setiap tahunnya rata-rata hanya mampu mengesahkan kurang dari 10 RUU. Berikut catatan detilnya:
– Target 40 RUU 2015, lolos 3 RUU;
– Target 50 RUU 2016, lolos 10 RUU ;
– Target 52 RUU 2017, lolos RUU;
– Target 50 RUU 2018, lolos 5 RUU;
– Target 55 2019, lolos 14 RUU;
– Target 37 RUU 2020, lolos 3 RUU;
– Target 37 RUU 2021, lolos 5 RUU.
Kemudian sepanjang tahun 2022, DPR bersama Pemerintah baru mengesahkan 7 RUU dari 40 RUU dalam Prolegnas.
Berdasarkan catatan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam 7 (tujuh) tahun terakhir, hanya pada 2019 (14 RUU) DPR bersama Pemerintah mampu mengesahkan lebih dari 10 RUU. Bahkan capaian tersebut diwarnai demonstrasi besar dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dan buruh dalam bingkai #ReformasiDikorupsi. Aksi penolakan serangkaian RUU tersebut disebabkan praktik legislasi yang kilat, dipaksakan, dan mengabaikan partisipasi publik yang bermakna menjelang akhir periode DPR 2014-2019.
Kedua, perlu ditekankan bahwa pencapaian Prolegnas bukan sekadar memenuhi target jumlah penyelesaian RUU menjadi UU, tetapi juga mengenai partisipasi bermakna dalam proses perencanaan, persiapan, dan pembahasannya. Suatu hal yang terlihat masih absen secara konsisten dalam agenda legislasi Indonesia. Padahal Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sudah memberikan standar tinggi dalam pelaksanaan partisipasi publik, yaitu tidak hanya, melingkupi hak untuk didengar, tetapi juga harus mangokomodasi hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Ketiga, dasar pertimbangan dalam menetapkan target lebih dari 20 RUU dalam Prolegnas 2023 patut dipertanyakan. Seolah Pemerintah dan DPR tidak belajar dari sejarah, bahwa menjelang tahun Pemilu, sulit bagi DPR untuk berkonsentrasi dalam menjalankan fungsi legislasinya secara berkualitas. Tuntutan publik untuk memperbaiki kinerja dalam penyelesaian target RUU dalam Prolegnas dijawab dengan kesibukan persiapan Pemilu sehingga mengorbankan kualitas dan kuantitas pembahasan RUU.
Keempat, ada inkonsistensi dalam pengusulan RUU dalam Prolegnas. Pada 2016, Presiden Joko Widodo menginstruksikan tidak perlu banyak mengusulkan RUU, cukup tiga atau lima RUU saja, yang penting berkualitas. Namun yang terjadi pada Prolegnas 2023 adalah sebanyak 10 RUU yang diajukan Pemerintah sebagai RUU prioritas. Sedangkan untuk DPD, pada tahun 2023 akan mengusulkan 3 RUU. Jumlah itu terbilang banyak karena merujuk pada catatan capaian RUU dari usulan DPD, sejak 2004 hingga September 2022, baru berhasil disahkan 2 RUU menjadi UU, yakni UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan UU Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Oleh karena itu, perlu untuk dipastikan bahwa RUU yang masuk dalam Prolegnas adalah berdasarkan kepada prioritas kebutuhan, bukan sekadar melanjutkan pembahasan di tahun sebelumnya.
Berdasarkan empat hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak DPR, Pemerintah, dan DPD untuk:
- belajar dari pengalaman dalam menentukan jumlah RUU yang akan diprioritaskan di tahun depan, sehingga lebih realistis dan menggambarkan hasil evaluasi proses legislasi di tahun sebelumnya;
- menyatakan komitmen secara terbuka bahwa pelaksanaan fungsi legislasi dalam mengejar target Prolegnas di tahun 2023 tidak akan terpengaruh oleh aktivitas politik partai politik maupun anggotanya menjelang pelaksanaan Pemilu 2024;
- menjaminan pelaksanaan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap tahapan pembentukan undang-undang, sesuai dengan amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang tidak hanya melingkupi hak untuk didengar, tetapi juga harus mangokomodasi hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan;
- menjelaskan urgensi dari setiap RUU yang diprioritaskan dalam Prolegnas 2023 sebagai bentuk transparansi kepada publik.