Persoalan korupsi terus menerus menderap bangsa Indonesia. Hampir setiap lini cabang kekuasaan pernah terlibat praktik rasuah, mulai dari eksekutif, legislatif, sampai pada ranah yudikatif. Bukan hanya merusak perekonomian, namun efek dari kejahatan korupsi juga menyentuh aspek demokrasi, bahkan lebih jauh pada pelanggaran hak azasi manusia.
Data Indonesia Corruption Watch sepanjang tahun 2018 negara telah dirugikan Rp 9,2 triliun akibat praktik-praktik korupsi. Kontestasi elektoral pun terganggu akibat praktik rasuah, kepala daerah silih berganti menjadi tersangka karena terbukti menjadikan kewenangan luas sebagai bancakan korupsi. Citra Indonesia di mata dunia pun tidak menunjukkan perbaikan signifikan, Indeks Persepsi Korupsi terbitan Transparency International tahun 2019 masih menempatkan Indonesia pada peringkat 85 dari total 180 negara.
Merujuk pada penjelasan Lawrence M Friedman menyatakan bahwa untuk mengukur efektivitas dari implementasi hukum di sebuah negara merujuk pada 3 (tiga) indikator, yakni struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Keseluruhan poin tersebut masih menjadi persoalan di Indonesia, utamanya terkait komitmen negara terhadap kejahatan korupsi.
Untuk struktur hukum misalnya, Kejaksaan dan Kepolisian masih belum menunjukkan performa terbaik dalam mengusut kejahatan korupsi. Penilaian ini setidaknya dapat dilihat dari tingkat kepercayaan publik terhadap dua lembaga penegak hukum tersebut. Data Lembaga Survei Indonesia pada akhir 2018 menyebutkan untuk Kepolisian sendiri masih berada di bawah KPK, sedangkan presentase Kejaksaan Agung masih di bawah 70 persen1.
Lalu pada substansi hukum pun tak jauh berbeda. Regulasi yang dihasilkan Presiden dan DPR belum sepenuhnya menunjang kinerja pemberantasan korupsi. Contoh, rekomendasi dari kesepakatan PBB melawan korupsi (United Nation Convention Against Corruption) tak kunjung rampung diimplementasikan dalam hukum positif. Padahal kriminalisasi tindakan memperdagangkan pengaruh (trading in influence), peningkatan harta kekayaan yang tak wajar (illicit enrichment), atau suap sektor swasta (bribery in private sector) memiliki urgensitas yang amat penting.
Terakhir pada bagian budaya hukum juga masih sama seperti dua poin lainnya. Pelaku korupsi yang ditangani KPK terhitung masih dalam skala besar. Merujuk pada data KPK menyebutkan bahwa sejak 2016 sampai dengan tahun 2019 lembaga anti rasuah itu telah menetapkan 608 orang sebagai tersangka kasus korupsi. Data ini menandakan bahwa negara gagal dalam memberikan efek jera maksimal pada pelaku korupsi.
Indonesia sendiri telah memiliki perangkat yang cukup baik untuk membuktikan komitmen melawan kejahatan korupsi. Setidaknya saat ini Indonesia telah memiliki lembaga khusus yang menangani kejahatan korupsi seperti KPK dan pengadilan khusus yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun KPK bukan lembaga pertama yang dibentuk oleh pemerintah. Terhitung sejak tahun 1959 telah ada tujuh lembaga yang serupa dengan KPK. Mulai dari Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara tahun 1959 sampai pada Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara yang dikemudian hari dilebur menjadi bagian dari KPK. Pola pembubaran lembaga pemberantasan korupsi terdahulu pun sama, yakni saat berupaya membongkar kejahatan korupsi elite politik.
KPK sendiri hadir berlandaskan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Regulasi ini dianggap banyak pihak mumpuni untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi. Bahkan tak salah rasanya jika disebutkan bahwa kehadiran KPK dalam sistem penegakan hukum di Indonesia membawa iklim positif bagi pemberantasan korupsi. Terbukti, banyak aktor-aktor yang selama ini dikenal “kebal hukum” dapat ditangani dengan baik oleh KPK. Mulai dari kepala daerah, Menteri, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, Ketua Umum Partai Politik, sampai pada Ketua Mahkamah Konstitusi terjaring oleh lembaga anti rasuah ini.
Kasus-kasus dengan dimensi kerugian negara yang besar pun perlahan-lahan berhasil diungkap KPK, misalnya: kasus KTP-Elektronik dengan kerugian negara Rp 2,3 trilyun dan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan kerugian negara sebesar Rp 4,5 triliun. Tidak hanya sektor penindakan, namun pada pencegahan KPK pun menunjukkan kiprah yang baik di mata publik. Terbukti, dalam kurun waktu 2016-2019 saja KPK berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp 63,8 triliun.
Namun seiring dengan berjalannya waktu hambatan terhadap pemberantasan korupsi pun terlihat secara jelas oleh publik. Institusi pemberantasan korupsi kerap mendapat “serangan” dari berbagai pihak, mulai dari pengajuan hak angket DPR, serangan terhadap pegawai ataupun Pimpinan KPK, sampai pada merevisi UU KPK. Tujuannya sama, yakni melemahkan agenda pemberantasan korupsi dengan cara melucuti kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh KPK.
Sampai pada akhirnya upaya merevisi UU KPK yang selama ini digaungkan oleh pemerintah dan DPR sejak tahun 2010 menemui titik akhir. Tepat pada tanggal 17 Oktober 2019 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 resmi berganti menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Hampir keseluruhan tahapan proses dan substansi pada regulasi ini akan menghambat kinerja KPK. Semula pemberantasan korupsi berada pada jalur cepat, namun karena adanya UU ini berbalik kembali ke jalur lambat.
Penelitian ini akan berfokus pada isu perubahan regulasi pada institusi KPK. Mulai dari proses pembahasan di DPR yang diduga memiliki permasalahan serius sampai pada substansi yang telah mereduksi kewenangan KPK dalam upaya penindakan. Tulisan ini dihasilkan atas kerjasama antara Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia dengan Indonesia Corruption Watch.
Download:
Penelitian_Proyeksi_Masa_Depan_Pemberantasan_Korupsi_Menelisik_Pengesahan