Pendidikan adalah hak dasar setiap individu yang diakui dalam berbagai instrumen nasional maupun internasional, termasuk dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sistem Pendidikan Nasional). Meskipun pendidikan dianggap sebagai salah satu elemen utama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, masih terdapat berbagai tantangan yang harus diatasi untuk memastikan pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan adil untuk semua.
Di Indonesia, tantangan utama dalam sektor pendidikan mencakup ketimpangan akses pendidikan, kualitas pengajaran yang bervariasi, dan kesejahteraan dan profesionalisme tenaga pendidik. Di banyak daerah, terutama di daerah terpencil dan terisolasi, akses terhadap fasilitas pendidikan yang memadai masih terbatas, yang mengakibatkan ketertinggalan dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Selain itu, kurangnya kesejahteraan dan pelatihan untuk guru yang berimbas pada rendahnya kualitas pengajaran dan motivasi dalam bekerja, sehingga mempengaruhi kualitas pembelajaran bagi para siswa.
Celakanya, kebijakan anggaran pendidikan tidak menjadi prioritas dari pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 (Inpres Efisiensi APBN 2025), pemerintah memberikan arahan untuk pemangkasan anggaran di berbagai sektor, termasuk pendidikan. Langkah ini diambil untuk memangkas anggaran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dipotong sebesar Rp7,2 triliun, dari total pagu anggaran semula Rp33 triliun menjadi Rp26.2 triliun. Sementara itu, anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp14,3 triliun, dan Rp56,5 triliun menjadi Rp 42,3 triliun.
Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah fenomena korupsi di sektor pendidikan, yaitu penyalahgunaan anggaran pendidikan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Misalnya, dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur pendidikan, pengadaan alat belajar maupun fasilitas lainnya, seringkali diselewengkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini tentu mengakibatkan ketidakmerataan fasilitas pendidikan di berbagai daerah, terutama di daerah terpencil, yang pada akhirnya memperburuk ketimpangan pendidikan di Indonesia.
Lebih jauh lagi, meskipun Indonesia telah membuat berbagai kemajuan dalam mengintegrasikan isu gender dalam kebijakan Pendidikan, masih banyak tantangan terkait kesetaraan gender yang belum teratasi. Akses terhadap pendidikan bagi perempuan di beberapa daerah masih terbatas, dan budaya patriarki serta stereotip gender seringkali membatasi potensi mereka. Kurikulum yang ada saat ini belum sepenuhnya responsif terhadap isu gender, sehingga tidak cukup mendukung peran perempuan dalam pembangunan dan menghalangi pencapaian pendidikan yang inklusif.
Untuk itu, reformasi pendidikan yang menyeluruh dan berkelanjutan sangat diperlukan. Reformasi ini harus mencakup upaya untuk meningkatkan akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, memperbaiki sistem guru melalui peningkatan kompensasi dan profesionalisme, serta mewujudkan kurikulum yang responsif gender dan dapat mendukung pendidikan yang adil dan inklusif. Hal ini tidak hanya penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, tetapi juga untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya dalam memastikan pendidikan yang inklusif, setara, dan berkualitas bagi semua anak tanpa terkecuali.