Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Jakarta, 15 April 2022 – Pembahasan RUU Perubahan Kedua UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Revisi UU PPP) kembali menjadi preseden buruk praktik legislasi pada masa pandemi. Sejak mulai dibahas di DPR pada 7 April 2022 tidak terlihat adanya upaya untuk menjadikan proses legislasi ini transparan. Dalam waktu teramat singkat, Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 13 April 2022 sepakat membawa draf RUU ke pembicaraan tingkat dua, yakni rapat paripurna.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberikan sejumlah catatan atas substansi serta proses yang terjadi sebagai berikut.
Pertama, proses pembahasan mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi publik.
Sesi-sesi rapat pembahasan RUU yang disiarkan secara langsung melalui kanal TV Parlemen dan YouTube DPR hanya bersifat tontonan, bukan ruang bagi publik untuk berpartisipasi. Pembahasan juga dilakukan dengan terburu-buru, yaitu dengan mengadakan pembahasan di luar jam kerja, yang berdampak pada tidak adanya live streaming pembahasan. Akibatnya, publik sulit melakukan pemantauan. Lebih dari itu, pasal-pasal krusial disepakati di luar pantauan publik, padahal jelas Revisi UU PPP ini akan mengikat masyarakat umum.
Ruang partisipasi publik dibuka terakhir kalinya pada masa persiapan Revisi UU PPP. Saat itu, draf yang tercantum pada situs resmi DPR per 2 Februari 2022 masih sangat awal, dan berbeda dengan draf yang digunakan dalam pembahasan dengan Pemerintah. Sesudahnya, tidak ada lagi draf terbaru yang disebarluaskan. Padahal, Pasal 96 ayat (4) UU PPP, mewajibkan DPR untuk menyebarluaskan naskah akademik dan draf RUU pada setiap tahapan. Selain itu, sepanjang proses pembahasan, tidak ada ruang dan waktu yang layak bagi publik untuk menyampaikan masukan kepada Pemerintah dan DPR, dan hal ini bertentangan dengan kewajiban pelaksanaan konsultasi publik pada setiap tahapan sesuai pasal 96 ayat (7) UU PPP.
Kedua, materi pembahasan Revisi UU PPP tidak menyasar akar persoalan tata kelola regulasi.
Secara substansi, Revisi UU PPP kontraproduktif dengan upaya menyelesaikan permasalahan tata kelola perundang-undangan di Indonesia. Ada lima masalah dalam tata kelola regulasi di Indonesia yang mencakup: (1) perencanaan legislasi yang tidak sinkron dengan perencanaan pembangunan; (2) materi muatan yang tidak sesuai dengan bentuk peraturan; (3) adanya kondisi hiper-regulasi; (4) masih lemahnya pelaksanaan monitoring dan eksekusi rekomendasi dari hasil evaluasi peraturan perundang-undangan; dan (5) kelembagaan pembentuk peraturan perundang-undangan yang bekerja parsial.
Dari kelima permasalahan tersebut, pemerintah dan DPR terkesan hanya berfokus pada persoalan hiper-regulasi, yang seolah-olah dapat diselesaikan dengan ketentuan tambahan tentang metode omnibus. Padahal, penggunaan metode omnibus dalam penyusunan Undang-Undang terbukti tidak menyelesaikan permasalahan hiper-regulasi. Berkaca pada UU Cipta Kerja, yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), keberadaan Undang-Undang omnibus tidak dapat mencegah kelahiran regulasi baru dalam jumlah banyak. Belasan peraturan turunan lahir sebagai amanat dari UU Cipta Kerja. Selain itu, UU Cipta Kerja juga tidak mengurangi jumlah Undang-Undang, melainkan hanya mengubah sebagian ketentuan dalam 80 Undang-Undang lainnya.
Selain itu, ketentuan tentang metode omnibus dalam Revisi UU PPP juga tidak dapat digunakan sebagai justifikasi telah dilakukannya evaluasi dan perbaikan atas UU Cipta Kerja, sebagaimana diamanatkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, karena UU Cipta Kerja disusun berdasarkan UU PPP yang saat ini berlaku. Dengan demikian, meskipun Revisi UU PPP nantinya disahkan menjadi Undang-Undang, ia tetap tidak dapat memberikan legitimasi atas metode omnibus yang diterapkan terhadap pembentukan UU Cipta Kerja yang saat ini telah berlaku.
Oleh karena itu, tidak ada urgensi bagi DPR untuk terburu-buru meloloskan Revisi UU PPP menjadi Undang-Undang. Sebaliknya, Pemerintah perlu menyelesaikan terlebih dahulu persoalan kelembagaan dalam upaya mewujudkan perbaikan tata kelola peraturan perundang-undangan, dengan mengacu pada RPJMN 2020-2024 dan janji Presiden Joko Widodo untuk merealisasikan badan khusus di bidang pengelolaan regulasi, yang diharapkan dapat mengintegrasikan berbagai fungsi perihal tata kelola peraturan perundang-undangan dalam satu otoritas tersendiri.
Ketiga, Revisi UU PPP tidak menjawab kebutuhan monitoring-evaluasi regulasi.
UU Nomor 15 Tahun 2019 yang merupakan perubahan pertama UU PPP secara progresif telah mencantumkan tambahan kewenangan bagi pembuat Undang-Undang untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi atas Undang-Undang yang mereka hasilkan. Ironisnya, DPR dan Pemerintah tidak menggunakan momen revisi kedua ini untuk memperjelas pengaturan mengenai monitoring dan evaluasi tersebut. Revisi UU PPP ini tidak menjelaskan bagaimana hasil evaluasi dan monitoring dilaksanakan. Hal ini menjadi salah satu permasalahan dalam tata kelola peraturan perundang-undangan, dan menyebabkan masih sering ditemukannya tumpang tindih dan ketidakjelasan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan.
Sebaliknya, berbagai ketidaksepakatan antara DPR dan Pemerintah maupun di internal pemerintah selama proses pembahasan Revisi UU PPP, justru memperlihatkan situasi kewenangan kelembagaan yang semrawut dan parsial dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Perdebatan di internal Pemerintah terkait dengan kewenangan harmonisasi, pengundangan, dan perwakilan Pemerintah untuk pengujian undang-undang (judicial review) di MK, membuktikan bahwa ada masalah mendasar dalam tata kelola perundang- undangan di Indonesia, yang tidak bisa selesai hanya dengan tambal sulam UU PPP.
DPR sebagai pemegang kekuasaan legislasi dan penyeimbang kekuasaan eksekutif seharusnya menjalankan perannya dengan berusaha melihat permasalahan secara sistem, tidak hanya secara parsial berdasarkan kewenangan per kementerian saja, yang tergambar dalam pembahasan Revisi UU PPP. Sikap DPR yang “mengalah” tanpa argumentasi yang jelas menunjukan lemahnya komitmen DPR dalam memperbaiki tata kelola peraturan perundang-undangan ini.
Ketiga, Revisi UU PPP membuka ruang kesalahan teknis dalam penyusunan peraturan serta menihilkan prinsip “partisipasi yang bermakna”.
Kritik substansial lainnya adalah pada rancangan revisi Pasal 72 yang mencantumkan bahwa draf RUU yang sudah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR dimungkinkan untuk diperbaiki kembali dalam hal teknis penulisan. Ketentuan ini tidak hanya menambah panjang jalur birokrasi, tetapi juga mendelegitimasi kerja dari Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi yang bertugas sebagai penyelaras akhir sebelum RUU disahkan dalam Rapat Paripurna.
Seharusnya, Rapat Paripurna merupakan tahap paling akhir sebelum draf RUU yang disetujui menjadi Undang-Undang dapat disebarkan kepada publik. Segala bentuk perbaikan teknis atas draf harus dilakukan pada tahap Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi. Sehingga, penambahan alokasi waktu seyogianya diterapkan pada tahap tersebut, bukan sesudah tingkat pembicaraan kedua pada Rapat Paripurna. Perubahan Pasal 72 ini justru terkesan melegalkan praktik legislasi yang terburu-buru dan menihilkan partisipasi publik.
Dalam aspek partisipasi publik, Revisi UU PPP juga menyempitkan ruang masyarakat yang bisa berpartisipasi, karena DPR dan Pemerintah memasukkan unsur “kelompok orang yang terdampak langsung” dalam revisi ketentuan Pasal 96 ayat (3). Unsur ini akan selalu menjadi perdebatan ke depan, dan menjadi alat untuk mengerdilkan pikiran-pikiran kritis masyarakat hanya karena dianggap tidak terdampak langsung. Padahal, jaminan persamaan kedudukan dalam pemerintahan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali telah termuat dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Lebih lanjut, Revisi UU PPP juga menihilkan prinsip partisipasi yang bermakna, sebagaimana Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang mencakup tiga hak, yaitu hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan tanggapan atau jawaban. Revisi UU PPP hanya mengakomodasi hak untuk didengar, tetapi tidak menjamin hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan tanggapan atau jawaban.
Berdasarkan catatan-catatan tersebut, PSHK mendesak:
- DPR untuk tidak menyetujui Revisi UU PPP menjadi Undang-Undang dalam Pembicaraan Tingkat II pada Rapat Paripurna masa sidang berikutnya;
- DPR untuk meminta Pemerintah menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan tata kelola pembentukan peraturan perundang-undangan di internal Pemerintah dengan berdasarkan RPJMN dan janji Presiden Joko Widodo;
- Pemerintah untuk tidak menjadikan Revisi UU PPP sebagai alat untuk melegitimasi UU Cipta Kerja, karena berdasarkan Putusan MK, Pemerintah seharusnya menyesuaikan UU Cipta Kerja dengan ketentuan dalam UU PPP yang saat ini berlaku dan membahas ulang substansinya; dan
- Pemerintah dan DPR harus memiliki visi reformasi regulasi yang sama, yakni untuk memperbaiki tata kelola peraturan perundang-undangan secara menyeluruh, serta tidak memanfaatkan momentum perubahan UU PPP ini untuk melegitimasi kepentingan politik jangka pendek.