Indonesia dengan penduduk 270 juta jiwa (BPS, 2020) merupakan pangsa pasar potensial dalam transaksi ekonomi secara daring (e-commerce). Jumlah transaksi perniagaan secara daring pada 2020 mencapai Rp266,3 triliun di mana terdapat peningkatan sebesar 29,6% dari 2019 (Katadata, 2020). Perniagaan daring ini mayoritas menggunakan uang elektronik dalam transaksinya. Data tersebut pun hanya mencakup data e-commerce, belum mencakup nilai transaksi lainnya seperti pinjaman online.
Namun, status literasi digital Indonesia yang masih rendah (Katadata-Kominfo, 2020) dan masih tersendatnya kebijakan untuk merespons dinamika pasar membuat penyelesaian sengketa perniagaan melalui online dispute resolution (ODR) belum menemukan formula penyelesaian yang mumpuni. Membebankan semua sengketa ke lembaga peradilan juga bukanlah pilihan mengingat perkara perdata melalui e-court pada 2019 sebelum pandemi saja bisa mencapai hampir 48 ribu kasus (Laporan Tahunan Mahmahah Agung, 2020).
Di tingkat kebijakan, pengaturan mengenai ODR terdapat dalam sejumlah regulasi di antaranya seperti Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE); UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik; dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 31/POJK.07/2020 Tentang Penyelenggaraan Layanan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Belum adanya agenda regulasi ini menunjukkan sinyal ketertinggalan kerangka hukum ODR, sehingga membutuhkan kehadiran para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk berada pada halaman yang sama demi efektivitas kebijakan kelak.
Studi Digitalisasi Akses Konsumen terhadap Keadilan di Indonesia yang disusun oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) atas dukungan program ASEAN – Jerman Consumer Protection in ASEAN (PROTECT) merupakan sebuah upaya untuk membuka jalan bagi terbitnya diskusi antarpemangku kepentingan untuk arah regulasi ODR ke depan. Terdapat berbagai hal seperti skema kelembagaan, tata kelola, penegakan hukum hingga perbandingan dengan negara lain yang merupakan pertanyaan penting untuk menentukan arah kebijakan ODR yang coba dianalisis oleh tim penulis dalam studi ini.
Bertemunya hak pencari keadilan dalam skema ODR, baik yang mewakili konsumen maupun produsen, membutuhkan kerangka kebijakan yang sistematis, terukur dan berbasis bukti; apalagi mengingat batas-batas negara dalam ODR nyaris seperti tidak terlihat. Semoga penulisan studi ini merupakan langkah pertama untuk kerja dan agenda lain yang bisa jadi lebih signifikan terkait hak akan keadilan bagi konsumen.