Menurut data rujukan Wilayah Kelautan Indonesia yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada September 2020, luas total perairan Indonesia adalah 6,4 juta kilometer persegi atau 2/3 dari keseluruhan wilayahnya. Sebagai negara maritim, Indonesia sangat bergantung pada sektor kelautan. Namun, berdasarkan Ocean Health Index , Indonesia menempati peringkat 137 dari 221 negara untuk tingkat kesehatan lautnya di tahun 2019. Skor Indonesia, yaitu 65 dari 100, berada di bawah rata-rata dunia, yaitu 71. Bahkan, jika dibandingkan dengan hasil kajian Ocean Health Index di tahun 2015, terdapat beberapa aspek yang justru mengalami penurunan di tahun 2019.
Selain persoalan laut, berdasarkan Keputusan Menteri KKP Nomor 50/KEPMEN-KP/2017, jumlah potensi sumber daya perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) relatif tinggi, yakni sebesar 12.541.438 ton. Begitu pun ekspor hasil perikanan Indonesia tahun 2019 yang mencapai 4,947 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, beberapa komoditas perikanan di beberapa WPP-NRI justru berada pada kategori merah (over-exploited). Artinya, jika tidak dikelola dengan baik, komoditas/spesies perikanan tertentu akan mengalami kepunahan akibat penangkapan yang berlebihan. Termasuk terumbu karang , padang lamun (seagrass) , dan mangrove yang juga dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Selain permasalahan sumber daya kelautan, sektor perikanan juga berhadapan dengan tantangan menurunnya tingkat kepatuhan pelaku usahanya. Pada 2018, KKP melaporkan bahwa terdapat 1.636 kapal berukuran di atas 30 GT melanggar wilayah tangkap ikan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP terhadap Laporan Kegiatan Usaha dan Laporan Kegiatan Penangkapan tahun 2017-2018, terdapat sekitar 1,2 juta ton hasil tangkapan yang tidak dilaporkan oleh pelaku usaha.
Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), pemerintah mengklaim akan mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menyelesaikan masalah dalam sektor kelautan dan perikanan. Namun, menurut Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL), arah kebijakan tata kelola kelautan dan perikanan Indonesia yang dirumuskan dan ditempuh oleh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada periode 2019-2024 justru berpotensi menimbulkan krisis ekologi, termasuk kerusakan ekosistem laut, dan ketidakadilan sosial. Percepatan investasi yang menjadi tujuan UU Cipta Kerja dikhawatirkan akan mengabaikan aspek pelindungan daya dukung ekosistem serta kepentingan kelompok masyarakat marjinal di sektor kelautan dan perikanan.