Kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan Transparency International Indonesia melalui Indeks Persepsi Korupsi tahun 2023. Di mana, skor Indonesia sama seperti tahun sebelumnya, yakni, 34 dan peringkatnya merosot dari 110 ke 115. Bila dibandingkan dengan perolehan skor sembilan tahun lalu atau saat awal Presiden Joko Widodo dilantik, maka IPK Indonesia praktis stagnan atau berjalan di tempat. Ini pertanda buruk yang mengharuskan adanya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pemberantasan korupsi, tak terkecuali menyangkut reformasi lembaga penegak hukum.
Tak jauh berbeda dengan kondisi umum pemberantasan korupsi di Indonesia, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlahan juga mulai dipertanyakan efektivitasnya. Bagaimana tidak, rentetan kontroversi silih berganti selama kurun waktu empat tahun terakhir. Mulai dari rendahnya kuantitas serta kualitas penindakan, skandal pelanggaran etik, hingga memburuknya tata kelola kelembagaan. Akibatnya seperti saat ini, hampir semua jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei menempatkan lembaga antirasuah itu pada titik terendah dalam tingkat kepercayaan masyarakat.
Tidak sulit sebenarnya untuk melacak apa akar permasalahan yang terjadi di KPK saat ini. Peristiwa perubahan drastis arah politik hukum pemerintah dan DPR dengan mengubah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan memilih komisioner-komisioner bermasalah diyakini menjadi sumber utama persoalan. Bisa dibayangkan, melalui revisi UU KPK, independensi runtuh karena diletakkan sebagai bawahan cabang kekuasaan eksekutif, begitu pula status kepegawaian yang berubah menjadi aparatur sipil negara, dan pembentukan lembaga Dewan Pengawas KPK.
Sedangkan komisioner, Presiden dan DPR kala itu sepakat memilih orang-orang yang memiliki rekam jejak buruk, salah satunya Firli Bahuri. Padahal, masyarakat sudah mengingatkan melalui berbagai saluran, bahkan hingga demonstrasi besar-besaran, bahwa serangkaian kesepakatan pembentuk UU itu akan mengantarkan KPK ke arah yang lebih buruk. Namun, alih-alih didengarkan, saluran partisipatif itu diabaikan begitu saja, pemerintah dan DPR tetap melanjutkan rencana pelemahan KPK.
Sebagai anak kandung reformasi dan tempat tumpuan harapan masyarakat dalam memberantas korupsi, urgensi mengembalikan KPK seperti sedia kala menjadi krusial dilakukan. Pembenahan, baik dari internal KPK maupun dorongan kepada lembaga negara eksternal, harus dilakukan. Di samping itu, tak lupa pula, kemauan berbenah, mendengarkan, dan mengakomodir saran serta kritik dari masyarakat juga mesti dijalankan oleh KPK.
Bagaimanapun, peran serta dan kontribusi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi diakui serta dijamin peraturan perundang-undangan, tepatnya Pasal 41 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berangkat dari permasalahan di KPK, Indonesia Corruption Watch dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, menginisiasi penulisan catatan kritis terhadap kinerja lembaga utama pemberantas korupsi selama lima tahun terakhir. Dokumen catatan kritis ini akan berfokus pada analisis penilaian kinerja KPK yang mencakup tata kelola kelembagaan, sektor penindakan, dan pencegahan. Selain itu turut menyinggung tentang implikasi berlakunya UU KPK baru dan dampak yang dihasilkan atas perubahan status kelembagaan KPK.