Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Jakarta, 1 Agustus 2022 – Hadirnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (Permenkominfo 5/2020) ternyata tidak menyelesaikan persoalan tetapi justru mendorong perlindungan penggunaan internet ke jurang yang lebih dalam dengan sejumlah persoalan. Persoalan tersebut dimulai dari ketidaktepatan materi muatan hingga ancaman penciutan ruang publik.
Secara umum, Permenkominfo 5/2020 memiliki materi muatan yang melanggar dan membatasi hak asasi manusia yang seharusnya tidak diatur di level peraturan menteri. Permenkominfo 5/2020 juga tidak sejalan dengan wacana dukungan bagi ekosistem digital. Hal itu disebabkan oleh tidak matangnya analisis cost and benefit dari peraturan ini sehingga menyebabkan biaya sosial yang harus ditanggung publik luas akan lebih besar dari manfaat yang diterima.
Situasi tersebut semakin memperlihatkan Pemerintah salah kaprah dalam menerapkan kebijakan perlindungan penggunaan internet. Atas dasar tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberikan sejumlah catatan atas substansi dan implikasi Permenkominfo 5/2020 sebagai berikut.
Pertama, Pembatasan Hak Semestinya Diatur dalam Undang-Undang
Materi muatan Permenkominfo 5/2020 tidak dapat dilepaskan dengan pengaturan hak atas pribadi (hak privasi) dan hak kebebasan berekspresi. Setidaknya terdapat tiga ketentuan dalam Permenkominfo 5/2020 yang mengatur mengenai pembatasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pertama, Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) yang mewajibkan PSE lingkup privat untuk memberikan akses terhadap sistem elektronik dan/atau data elektronik kepada kementerian atau lembaga serta aparat penegak hukum dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum. Ketentuan itu rentan untuk disalahgunakan dan membuka ruang untuk terjadinya pelanggaran terhadap hak privasi. Terlebih RUU Pelindungan Data Pribadi yang mengatur jaminan dan mekanisme pelindungan data, termasuk yang dikelola oleh Pemerintah belum disahkan; Kedua, Pasal 36 ayat (5) yang mengatur PSE lingkup privat untuk memberikan data pribadi spesifik (informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, kehidupan/orientasi seksual, pandangan politik, data anak, data keuangan pribadi dan/atau data lainnya), ketentuan ini juga berpotensi melanggar hak privasi seseorang; dan Ketiga, dalam Permenkominfo 5/2020 terdapat 65 ketentuan yang mengatur mengenai “pemutusan akses”, hal ini berimplikasi terhadap pembatasan hak, khususnya hak kebebasan berekspresi. Terlebih dalam UU ITE kewenangan pemutusan akses hanya diberikan dalam rangka pencegahan dalam penyebaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum. Sehingga penjelasan tersebut menegaskan bahwa ketentuan dalam Permenkominfo 5/2020 sarat dengan ketentuan yang berkaitan dengan pembatasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Dalam konteks teori perundang-undangan, terhadap ketentuan yang mengatur mengenai hak maupun pembatasan hak asasi manusia seharusnya merupakan materi muatan undang-undang. Hal tersebut disebabkan oleh diperlukannya persetujuan warga negara terhadap pembatasan hak yang akan diatur dalam suatu undang-undang, dalam hal ini persetujuan tersebut terjadi pada saat pembahasan undang-undang antara Pemerintah dengan DPR. Terlebih jika ketentuan pembatasan hak tersebut akan berimplikasi terhadap penjatuhan sanksi, maka sangat tidak tepat jika diatur dalam peraturan menteri. Dalam hal ini, terhadap ketentuan Permenkominfo 5/2020 yang bersinggungan dengan hak privasi seputar data pribadi menjadi domain pengaturan di RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dan terhadap pembatasan hak kebebasan berekspresi menjadi domain revisi UU Informasi dan Tranksaksi Elektronik (UU ITE). Sehingga level peraturan menteri tidak mengatur yang bukan merupakan kewenangannya.
PSHK juga kemudian mempertanyakan proses harmonisasi Permenkominfo 5/2020 yang dilakukan oleh Kemenkumham, mengapa pada akhirnya ketentuan yang mengatur mengenai hak dan pembatasan hak dapat menjadi materi muatan dalam Permenkominfo 5/2020. Seharusnya langkah pencegahan dilakukan pada saat proses harmonisasi dilakukan, dan menegaskan bahwa proses harmonisasi terhadap Permenkominfo 5/2020 tidak berjalan dengan baik.
Kedua, Prioritaskan RUU Perlindungan Data Pribadi dan Revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Hadirnya Permenkominfo 5/2020 bukanlah jawaban tepat dilihat dari kacamata perlindungan data pribadi. Adanya Permenkominfo 5/2020 mempertegas Pemerintah telah salah kaprah memberlakukan kebijakan dan prioritas pembentukan regulasi. Masyarakat telah lama menunggu diundangkannya RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang sampai dengan hari ini belum selesai di bahas. Padahal RUU PDP merupakan salah satu jawaban yang dapat memberikan landasan perlindungan data pribadi masyarakat. Selain segera mengesahkan RUU PDP, Pemerintah harus memperluas literasi mengenai urgensi perlindungan data pribadi, sehingga tidak menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Tidak hanya itu, revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga masih menyisakan persoalan yang cukup kompleks. Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah merekomendasikan Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU ITE dengan menggeser orientasi dari pengekangan kebebasan berekspresi ke orientasi perlindungan hak kebebasan berekspresi. Hal tersebut menandakan bahwa UU ITE sangat bermasalah, dan dalam berbagai catatan menyebutkan bahwa UU ITE menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak berekspresi sejak pertama kali diundangkan.
Dua momentum di atas memberi sinyal bahwa Pemerintah dan DPR harus memprioritaskan pengesahan RUU PDP dan revisi UU ITE sesegera mungkin. Setidaknya hal tersebut dapat menyelamatkan dan menjamin hak privasi dan hak berekspresi warga negara.
Ketiga, Ancaman Penciutan Ruang Publik
Peran Negara dalam menjaga ruang publik terlihat semakin ugal-ugalan. Tujuan pelindungan terhadap ruang publik sama sekali tidak terlihat dalam Perkominfo 5/2020. Aspek pelindungan publik menjadi rancu ketika Negara menggunakan pendekatan command and control belaka dan usaha publik mengkritisi malah direspon dengan narasi yang membenturkan satu sama lain.
Fenomena yang hari ini terjadi menambah daftar panjang catatan merah dalam kebijakan negara melindungi ruang masyarakat sipil. Kasus Perkominfo ini merupakan kasus terkini sejak kasus Fatia-Haris, RKUHP, di mana elemen Negara berperan aktif dalam penciutan ruang publik yang hampir semua menunjukkan absennya penghargaan pada kebebasan akademik, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi serta menihilkan partisipasi bermakna dalam pembentukan kebijakan.
Berdasarkan catatan-catatan yang telah diuraikan sebelumnya, PSHK mendesak:
1. Menteri Kominfo untuk mencabut Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, karena sudah melampaui kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Kominfo yang diatur dalam UU.
2. Pemerintah dan DPR segera merampungkan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi dan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
3. Pemerintah dan DPR harus membuka ruang partisipasi masyarakat yang bermakna terhadap pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi dan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
4. Pemerintah harus menghentikan upaya penciutan ruang publik dan wajib menjamin adanya perlindungan terhadap hak privasi dan hak berpendapat masyarakat.