Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej kompak satu suara soal perumusan pasal penghinaan presiden dan/atau wakil presiden ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Namun, dimasukkannya pasal penghinaan presiden dengan ancaman penjara maksimal 3 tahun 6 bulan, yang sebelumnya tercantum dalam KUHP versi kolonial, menjadi bukti bahwa capaian RKUHP yang digembar-gemborkan sebagai produk reformasi hukum pidana tidak sesuai dengan kenyataan. Menyikapi hal itu, PSHK mencatat ada 5 alasan untuk menolak rumusan tersebut:
Pertama, alasan bahwa “presiden sebagai simbol negara” dan “personifikasi masyarakat” yang dipakai pemerintah untuk menjustifikasi pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP adalah keliru. Perihal simbol negara sudah jelas diatur dalam Pasal 35 dan 36B UUD 1945 tentang lambang-lambang negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yaitu Garuda Pancasila, bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan. Perubahan delik penghinaan presiden menjadi delik aduan pada RKUHP tidak menghilangkan problem utama pada pasal anti-demokrasi itu. Justru sebaliknya, hal itu menimbulkan kesan bahwa pemerintah mencari celah untuk mengingkari putusan MK.
Jika ditelisik jauh ke belakang, keberadaan pasal penghinaan presiden berasal dari KUHP Belanda, tepatnya Artikel 111 Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederlands 1881), yang mengatur tentang penghinaan yang disengaja terhadap raja dan ratu dengan ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 300 gulden. Namun, sesudah Indonesia merdeka, pasal itu kemudian diadopsi mentah-mentah oleh Pasal 134 KUHP dengan menggantikan frasa “raja dan ratu” menjadi “presiden dan wakil presiden”. Berbeda dengan tradisi monarki yang menahbiskan raja/ratu sebagai simbol kebangsaan, pada sistem negara republik-demokratis, jabatan kepala negara/kepala pemerintahan yang diampu presiden bukanlah simbol negara. Pada bentuk republik yang dianut Indonesia, kepala negara diisi berdasarkan pemilihan, bukan melalui titah berdasarkan silsilah garis keturunan, sehingga tradisi penahbisan pun tidak dikenal. Bahkan, jabatan presiden atau wakil presiden senantiasa dapat dilengserkan berdasarkan mekanisme dan alasan konstitusional. Sebagian besar negara demokratis yang hari ini masih mempertahankan delik penghinaan terhadap figur kekuasaan adalah negara bersistem monarki, dan itupun umumnya hanya dikategorikan sebagai tindak pidana ringan.
Kedua, memasukkan pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP tidak tepat karena presiden adalah jabatan, dan harus dibedakan dengan individu yang mengisi jabatan tersebut. Sebagai suatu jabatan, presiden tidak memiliki fitur moralitas untuk bisa merasa dihina. Dalam konstruksi itu, setiap komentar, sentimen, pujian bahkan cibiran publik kepada presiden adalah bentuk penilaian atas kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Persoalan perihal pantas atau tidaknya cara komunikasi dalam menyampaikan kritik atas fungsi pemerintahan berada pada wilayah etika, yang di dalamnya berlaku sanksi sosial, sehingga tidak patut dijerat dengan sanksi pidana. Kalaupun penghinaan dialamatkan kepada martabat individu yang menjabat sebagai presiden, hal itu dapat ditindaklanjuti menggunakan pasal penghinaan terhadap individu atau lewat mekanisme gugatan perdata. Kebijakan menghapuskan pasal penghinaan terhadap kepala negara telah dilakukan di banyak negara, seperti Prancis pada 2013 dan Jerman pada 2017.
Ketiga, alasan pemerintah bahwa penghapusan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden akan menciptakan budaya masyarakat yang terlalu liberal, adalah argumentasi berdasarkan hipotesis yang prematur. Faktanya, MK telah menyatakan pasal tersebut inkonstitusional dan sejak ketentuan itu tidak berlaku hingga sekarang, sulit untuk membuktikan bahwa kearifan budaya masyarakat Indonesia telah terkikis oleh nilai-nilai yang dianggap liberal. Menjadikan kewaspadaan terhadap nilai-nilai “liberal” sebagai alasan untuk mempertahankan pasal penghinaan presiden juga menunjukkan sikap paradoks negara sebab hak kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai komponen penting dari HAM memang pada dasarnya digagas guna menjamin kebebasan semua orang terhadap potensi intervensi atau pembungkaman pendapat oleh kekuasaan. Penghapusan pasal penghinaan presiden dibutuhkan untuk memperkuat kontrol publik terhadap pemegang otoritas lewat pemerintahan yang partisipatif, agar tidak disalahgunakan dan tidak terjadi kesewenang-wenangan. Bagaimanapun, publik sebagai pemberi mandat berhak untuk menilai kinerja presiden dengan sejujur-jujurnya.
Selain itu, proposisi lain dari perumus RKUHP untuk mempertahankan pasal penghinaan presiden adalah dengan menyandingkannya dengan keberadaan pasal penghinaan terhadap perwakilan negara sahabat. Perancang berasumsi, jika pasal penghinaan wakil negara sahabat saja dipertahankan, mengapa pasal penghinaan terhadap kepala negara sendiri ingin dihilangkan. Namun, argumentasi tersebut jelas sumir. Kedua objek yang disandingkan tidak berada dalam kedudukan setara, terutama dalam konteks mandat. Perwakilan negara sahabat bukanlah pemegang mandat dari rakyat Indonesia. Maka, wajar apabila serangan yang dialamatkan kepada representasi kepala negara sahabat dapat dikonstruksi sebagai hinaan. Berbeda dengan konteks jabatan presiden dan wakil presiden yang di dalamnya terdapat relasi mandat langsung dari publik sebagai pemegang kedaulatan yang memiliki hak tagih atas pertanggungjawaban kinerja para pejabat.
Keempat, perubahan pasal penghinaan presiden menjadi delik aduan tidak menghilangkan risiko kriminalisasi. Faktanya, kepolisian kerap melakukan tebang pilih dan sulit bersikap proporsional manakala pelaporan datang dari pihak yang memiliki relasi kuasa sekelas pejabat negara. Akibat faktor relasi kuasa itu, polisi sering kali bias dalam menentukan batasan mana yang merupakan opini, kritik, dan hinaan. Terlebih lagi jika pengadu dalam hal ini adalah pemilik relasi kuasa sekelas presiden. Perumusan delik aduan pun pada gilirannya akan menyisakan masalah teknis lain. Misalnya, mungkinkah laporan dari presiden bisa ditolak oleh petugas administrasi di kantor polisi yang merupakan bawahan langsung dalam struktur kekuasaan eksekutif? Tentu naif untuk percaya bahwa akan ada objektivitas dari pihak kepolisian mengingat faktor modal sosial presiden akan senantiasa mempengaruhi subjektivitas aparatur penegak hukum.
Kelima, kebijakan perumusan pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP juga tidak didampingi dengan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) yang memadai. Padahal, setiap penambahan satu butir pasal akan punya dampak signifikan terhadap porsi anggaran kebijakan nantinya. Dampak-dampak sosial seperti meningkatnya kekecewaan dan ketidakpercayaan publik, menurunnya daya kontrol masyarakat lewat kritik terhadap presiden, meningkatnya ketakutan untuk berpendapat dan berekspresi, hingga potensi tergerusnya indeks demokrasi Indonesia, harus dihitung sebagai ongkos sosial yang harus dikeluarkan. Dalam survei yang dibuat Centre for Indonesia Strategic Action (CISA) baru-baru ini, 85,28% publik responden mengaku tidak menghendaki pasal penghinaan presiden dimuat dalam RKUHP (margin kesalahan 2,85%; tingkat kepercayaan 95%). Apabila temuan sebelumnya dikaitkan dengan perspektif kemanfaatan, bisa disimpulkan bahwa biaya-biaya sosial yang timbul dari perumusan pasal itu akan jauh melampaui manfaat yang dikehendaki publik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, PSHK mendesak Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dari substansi muatan RKUHP. Tidak adanya logika hukum yang berbasis bukti sebagai dasar keberadaan pasal tersebut akan menjadi preseden buruk yang menandai kemunduran nilai demokrasi dan prinsip negara hukum di Indonesia.
Jakarta, 17 Juni 2021