Upaya menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam UUD 1945 hangat diperbincangkan sejumlah elite politik. Upaya semakin menguat ketika gagasan dikemas sedemikian rupa atas nama amendemen UUD 1945, sekaligus menumpang pada proses politik pengisian jabatan Ketua MPR periode 2019-2024. Gagasan membangkitkan GBHN seolah-olah adalah demi kepastian dan keberlanjutan agenda pembangunan. Namun, apabila kita melihat secara kritis gagasan ini, terdapat potensi yang justru mengakibatkan mundurnya begitu banyak capaian sejak reformasi yang sudah berlangsung hingga kini.
PSHK memandang, gagasan amendemen UUD 1945 yang bertujuan menghidupkan kembali GBHN harus ditolak karena 5 alasan sebagai berikut.
1. Merusak sistem presidensial di Indonesia
Dalam naskah sebelum perubahan UUD 1945, GBHN diatur dalam Pasal 3, yang menyebutkan bahwa, “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara”. Kemudian, penjelasan Pasal 3 bahwa menegaskan Presiden wajib melaksanakan GBHN dan apabila Presiden melanggar, maka MPR bisa memberhentikan Presiden. Pengaturan itu pada dasarnya membuat Indonesia menganut sistem parlementer. Pasal itu dihapus dalam amendemen ketiga UUD 1945, sehingga kewenangan MPR diatur limitatif, yaitu: mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945. Implikasi dari perubahan itu adalah MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, presiden bukan lagi mandataris MPR, dan tidak ada lagi pertanggungjawaban presiden kepada MPR atas pelaksanaan GBHN. Perubahan itu yang membuat Indonesia menganut sistem presidensial. Sistem presidensial terbukti lebih tepat dalam membawa Indonesia ke alam yang lebih demokratis karena Presiden bertanggung jawab langsung pada pemilihnya, bukan pada lembaga lain. Jika GBHN kembali dihidupkan, pendulum sistem pemerintahan akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem yang sudah dibangun selama ini.
2. Melawan arus sejarah
Indonesia pernah menjalankan pola pembangunan berjangka melalui GBHN yang dibentuk oleh MPR, yakni pada masa pemerintahan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, hingga Abdurahman Wahid. Bahkan, Presiden Soekarno dan Presiden Abdurahman Wahid sempat merasakan bagaimana GBHN dijadikan sebagai dasar oleh MPR untuk melakukan pemakzulan. Penghapusan GBHN dalam ketentuan UUD 1945 bukan tanpa alasan, sehingga apabila tidak belajar dari sejarah dengan membangkitkan GBHN, maka peluang pengulangan sejarah melalui pemakzulan Presiden besar kemungkinan bisa terjadi lagi. Dengan model GBHN, Presiden hanya diposisikan sebagai pelaksana tugas sehingga esensi Presiden sebagai pemegang arah dan komando pembangunan menjadi hilang.
3. Memperburuk kinerja parlemen
Amendemen UUD 1945 menjadi upaya satu-satunya untuk membidani kelahiran kembali GBHN. Melakukan amendemen UUD 1945 adalah agenda kompleks yang memerlukan waktu panjang dan padat, sehingga akan menyita banyak waktu anggota MPR yang terdiri dari gabungan anggota DPR dan DPD periode 2019-2024. Padahal, peran dan keberadaan DPR diperlukan untuk melaksanakan berbagai fungsinya, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Waktu kerja yang tersita berpotensi memperburuk kinerja DPR, khususnya dalam fungsi legislasi. DPR periode 2014-2019 hanya berhasil mengesahkan 22 RUU menjadi UU dari 189 RUU yang direncanakan untuk disahkan pada kurun waktu 2015-2019. Capaian itu adalah nilai merah bagi manajemen kinerja DPR dalam 5 tahun terakhir, dan akan lebih buruk apabila waktu anggota DPR semakin disita oleh proses-proses amendemen UUD 1945.
4. Melawan komitmen arah pembangunan
Sejak GBHN tidak lagi diberlakukan, perencanaan pembangunan di Indonesia adalah berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), dan yang saat ini berlaku adalah RPJPN 2005-2025 berdasarkan kepada UU No. 17 Tahun 2007. RPJPN kemudian didukung oleh serangkaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang saat ini sedang dalam proses pembentukan RPJMN fase kelima. Apabila para elite politik memang serius untuk memperbaiki arah pembangunan nasional, maka tidak perlu menempuh jalur amandemen konstitusi dengan melahirkan kembali GBHN. Cukup dengan serius mengikuti proses penyusunan RPJMN 2020-2025. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan tenaga dan waktu yang ada adalah dengan melakukan evaluasi terhadap RPJPN 2005-2025, dan menjadikan hasil evaluasi itu untuk menyusun RPJPN tahap berikutnya, yaitu RPJPN 2025-2050.
5. Melawan prinsip partisipasi publik dalam pemerintahan
Dinamika melahirkan kembali GBHN melalui amendemen UUD 1945 yang saat ini terjadi bersifat elitis, yaitu hanya melibatkan kepentingan aktor-aktor partai politik yang agendanya memang saling berebut kekuasaan. Dalam praktik pemerintahan, yang adalah dibutuhkan keseimbangan agar capaian pembangunan dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan partisipatif. Wacana melahirkan kembali GBHN saat ini hanya mengakomodasi kepentingan elite partai politik, dan tidak mengakar pada kebutuhan riil masyarakat. Hal ini terjadi karena proses yang berjalan sampai mewacanakan amendemen UUD 1945 tidak berakar dari permasalahan riil dalam masyarakat, bahkan cenderung mengenyampingkan argumentasi atau kepentingan yang menolak dilakukannya amendemen UUD 1945 untuk melahirkan kembali GBHN.
Berdasarkan 5 alasan di atas, gagasan mengembalikan GBHN melalui amendemen UUD 1945 harus ditolak. Argumentasi-argumentasi di atas juga harus menjadi catatan bagi para elite partai politik, baik yang sudah mendukung maupun belum bersikap atas gagasan tersebut. Elite politik bukanlah representasi publik sehingga kelompok-kelompok masyarakat sipil, akademisi, serta publik secara luas perlu mengedepankan pertimbangan rasional dalam menyikapi gagasan menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen konstitusi tersebut.
Narahubung:
- Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK (0818-100-917)
- Agil Oktaryal, Peneliti PSHK (0852-7419-2510)
- Antoni Putra, Peneliti PSHK (0853-6506-0951)