Lambatnya respon Pemerintah dalam mengeluarkan berbagai kebijakan penanganan COVID 19 terus berlanjut. Setelah 2 hari lalu Presiden resmi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID 19), kali ini kelambatan pun terjadi ketika Keputusan Menteri Kesehatan untuk menetapkan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak kunjung dilakukan. Hal itu menjadikan pengaturan tentang PSBB dalam PP 21/2020 belum dapat dilaksanakan. Padahal pemerintah daerah sudah menunjukkan inisiatif untuk melindungi warganya di berbagai wilayah untuk melaksanakan PSBB terlebih dahulu. Namun akibat lambatnya Pemerintah Pusat mengambil tindakan, maka kebijakan yang diambil daerah tidak komprehensif dan menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah cepatnya persebaran COVID 19 di Indonesia.
Sampai 2 hari lalu, Pemerintah baru menetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID 19. Seharusnya penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat sudah dilakukan semenjak 2 minggu lalu, saat tercatat adanya peningkatan pesat persebaran COVID 19. Dampak keterlambatan ini adalah tidak memadainya fasilitas dan kesiapan petugas kesehatan di berbagai wilayah di Indonesia. Langkah ini pun masih menyisakan pekerjaan rumah mengingat belum adanya dasar hukum mengenai tata cara pembentukan Keppres tersebut yang seharusnya tercantum dalam PP 21/2020.
Substansi PP 21/2020 sangat terbatas, sehingga tidak memadai untuk melaksanakan percepatan penanganan COVID 19. PP ini hanya mengatur tentang PSBB, dan materi yang diatur pun tidak ada yang baru, melainkan hanya membukukan apa yang sudah dilakukan Pemerintah Daerah. Padahal untuk memberlakukan karantina wilayah, kita memerlukan peraturan pendelegasian untuk memberikan dasar agar inisiatif berbagai kepala daerah dalam menanggulangi COVID bisa memiliki koridor dan dasar pengaturan yang jelas.
Pengaturan PSBB dalam PP 21/2020 pun tidak dilakukan menyeluruh, karena hanya mencakup kriteria PSBB dan tata cara penetapan status PSBB oleh Menteri Kesehatan. Sama sekali belum terjawab pertanyaan tentang pelaksanakan PSBB, terutama terkait dengan pelaksanaan kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya. Di daerah pun terjadi kebingungan dari tingkat provinsi hingga desa dan masing-masing mengambil diskresinya masing-masing karena adanya ketidakpastian hukum mengingat praktik PSBB berjalan namun tanpa dasar penetapan dari Menteri Kesehatan
Berdasarkan pertimbangan tersebut,
PSHK mendesak Presiden untuk segera melakukan revisi terhadap PP 21/2020, dengan :
- Menambahkan materi muatan yang paling sedikit terkait dengan tata cara penetapan dan pencabutan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; serta kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, dan Karantina Rumah Sakit; dan
- Menambahkan materi mengenai mekanisme pemenuhan tanggung jawab negara terhadap masyarakat terdampak apabila terjadi karantina wilayah.
- Menentukan batas waktu revisi PP 21/2020 untuk dilakukan tidak lebih dari 1 minggu, mengingat PP ini sangat diperlukan untuk melaksanakan kebijakan percepatan penanganan COVID 19.
- Agar Presiden untuk memerintahkan Menteri Kesehatan untuk segera menetapkan status PSBB untuk diberlakukan di Indonesia.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Kamis, 2 April 2020
Foto: cnbcindonesia.com