Kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pendaftaran terhadap pemilih dengan disabilitas mental, berdasarkan surat Nomor 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/XI/2018, adalah langkah yang tepat. Kebijakan itu merupakan bentuk nyata dari realisasi jaminan hak politik yang setara bagi setiap warga negara Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam berbagai Undang-undang, termasuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Oleh karena itu, kebijakan pendaftaran penyandang disabilitas mental sebagai pemilih dalam Pemilu 2019 harus diteruskan, dan ditambah dengan upaya-upaya lainnya yang dapat mendukung penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak memilihnya dengan sebaik-baiknya, seperti dukungan pengobatan, sosialisasi, dan edukasi mengenai hak politik serta pengetahuan mengenai kepemiluan.
Ada 5 argumentasi yang mendasari mengapa penyandang disabilitas mental harus dilindungi hak politik, khususnya hak memilihnya, oleh negara.
1. Secara Filosofis, penyandang disabilitas mental adalah manusia yang memiliki hak asasi yang setara sejak kelahirannya. Salah satu hak asasi manusia (HAM) yang dimaksud adalah hak politik, khususnya dalam hal ini adalah hak memilih, yang dalam pemenuhannya tidak dapat dibatasi oleh Negara, kecuali berdasarkan putusan pengadilan atau Undang-undang. Sampai saat ini tidak ada putusan pengadilan dan Undang-undang yang melarang penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak memilihnya dalam Pemilu 2019.
2. Secara Yuridis, dalam hal ini penyandang disabilitas mental yang dimaksud adalah termasuk warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak konstitusional yang sama, sehingga wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh Negara. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, ketentuan dalam Pasal ini secara tegas melarang adanya pembedaan perlakuan dihadapan hukum, termasuk dalam hal pengaturan mengenai hak memilih. Selain itu, tidak ada satu pun Pasal dalam UU Pemilu yang melarang penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak memilihnya. Bahkan dalam pasal 5 UU Pemilu disebutkan bahwa, “Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu.” Serta pada Pasal 75 ayat (2) UU Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih”. Larangan terhadap penyandang disabilitas mental sudah pernah diatur dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang dan ketentuan itu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015.
3. Secara Medis, kapasitas seseorang untuk memilih dalam Pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir). Artinya, penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, Bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan. Penyandang disabilitas mental dengan disfungsi kognitif yang berat akan mempengaruhi kemampuan kapasitasnya, tetapi fungsi kognitif tetap dapat ditingkatkan dengan pembelajaran dan pelatihan. Umumnya penyandang disabilitas mental bersifat kronik dan episodik (kambuhan). Jika periode kambuhan terjadi di hari pemilu, khususnya pada waktu pencoblosan, tentu tidak mungkin memaksakannya datang ke TPS untuk berpartisipasi memberikan suaranya. Namun, di luar periode episodik, pemikiran, sikap, ingatan dan perilaku penderita tetap memiliki kapasitas untuk memilih dalam Pemilu. Kehilangan kapasitas memilih pada episode kambuh ini terjadi juga pada penyakit non jiwa atau penyakit fisik lainnya. Penderita epilepsi misalnya, tentu tidak dapat datang ke TPS untuk memilih jika pada hari pemilu ia sedang mengalami kekambuhan (kejang-kejang). Juga untuk penderita sakit gula (Diabetes Mellitus), bila pada hari pemilu sedang mengalami koma diabetikus sehingga harus masuk ICU maka tidak mungkin bagi penderita untuk datang ke TPS. Bahkan kehilangan kemampuan memilih juga dapat terjadi pada orang sehat yang tiba-tiba pada hari pencoblosan mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga tidak sadar dan memerlukan perawatan intensif.
4. Secara Sosiologis, perkembangan masyarakat Indonesia, pasca pengesahan UU Penyandang Disabilitas sudah menuju kepada pembentukan lingkungan yang inklusif. Berbagai kegiatan sudah melibatkan penyandang disabilitas Penyandang disabilitas mental termasuk dalam ragam penyandang disabilitas, sehingga segala upaya sosialisasi dan peningkatan interaksi penyandang disabilitas dengan masyarakat secara umum juga melibatkan penyandang disabilitas mental.
5. Secara Historis, pelarangan hak memilih pada penyandang disabilitas tidak sesuai dengan perkembangan HAM secara internasional. Pada 1966, hak memilih dalam ICCPR (Konvensi Hak Sipil dan Politik) masih dibatasi secara leluasa. Pada 1996 hak memilih dalam ICCPR dibatasi tetapi dilakukan lebih ketat, yaitu dengan kriteria logis dan objektif. Baru pada 2006, melalui Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas mengubah sifat pembatasan atau penggantian menjadi dukungan (supportif) dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. Lalu pada 2013 Human Right Council menyatakan bahwa negara pihak harus meninjau kembali bentuk pengucilan atau larangan terhadap hak politik bagi penyandang disabilitas, dan harus mengambil tindakan-tindakan yang layak, termasuk dalam hal legislasi, yaitu mengubah atau menghilangkan regulasi yang ada, kebijakan-kebijakan tradisi dan kebudayaan yang melahirkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Dengan begitu, perkembangan Ham internasional justru cenderung semakin menjamin hak politik bagi penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas mental.
Berdasarkan kepada 5 argumentasi tersebut, Kami Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas mendukung kebijakan pendaftaran pemilih penyandang disabilitas mental oleh KPU untuk Pemilu 2019. Selain itu, Pokja mendorong KPU untuk membentuk kebijakan tambahan yang mendukung penyandang disabilitas mental untuk ikut menggunakan hak pilihnya, yaitu:
1. berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah untuk memberikan fasilitas kesehatan kepada para penyandang disabilitas mental yang didaftar agar dapat menggunakan hak memilihnya pada saat hari pencoblosan;
2. tidak menggunakan surat keterangan dokter sebagai syarat bagi siapapun pemilih untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk penyandang disabilitas mental. Surat keterangan dokter hanya digunakan oleh KPU untuk membuktikan seseorang tidak dapat memilih karena alasan kesehatan; dan
3. melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, tim sukses para calon Presiden dan Wakil Presiden, Partai Politik peserta Pemilu 2019, internal KPU, KPUD dan penyelenggara Pemilu lainnya terkait dengan hak politik penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas mental.
Hormat Kami, Siaran Pers Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas tentang Kebijakan KPU dalam Pelaksanaan Jaminan Hak Memilih bagi Penyandang Disabilitas Mental dalam Pemilu 2019