Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
JAKARTA, 29/6/2020 — Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Sidang Kabinet Paripurna 18 Juni 2020 lalu seolah-olah menunjukkan sikap tegas presiden kepada para menterinya terkait lambannya penanganan bencana non-alam Covid-19. Namun, dari sudut pandang hukum tata negara, kemarahan itu justru menimbulkan pertanyaan terkait kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus pengambil kebijakan negara tertinggi.
Dalam video yang disiarkan oleh Sekretariat Presiden melalui kanal Youtube hari Minggu (28/6) kemarin, Presiden Jokowi menyatakan kecewa atas kinerja para menteri selama tiga bulan terakhir. Secara garis besar, kekecewaan presiden dapat diuraikan menjadi tiga hal: pertama, sikap para menteri dinilai tidak peka dengan situasi krisis; kedua, penggunaan anggaran kementerian tidak optimal; dan ketiga, tawaran presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) atau peraturan presiden (Perpres) apabila dibutuhkan.
Menanggapi poin-poin kekecewaan Presiden Jokowi tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berpendapat sebagai berikut.
Pertama, sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 UUD 1945, presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam sistem presidensiil yang berlaku di Indonesia, presiden tidak hanya bertindak sebagai kepala negara tetapi juga sebagai kepala pemerintahan. Artinya, presiden merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam semua hal terkait penyelenggaraan pemerintahan. Keberadaan menteri-menteri anggota kabinet pada dasarnya untuk membantu tugas presiden terkait bidang-bidang urusan tertentu dalam pemerintahan, sebagaimana diatur menurut Pasal 17 UUD 1945. Hal itu ditegaskan kembali dalam Pasal 7 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menyatakan bahwa tugas kementerian adalah menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Kemarahan presiden yang menyalahkan menteri-menterinya jelas tidak tepat karena menteri hanya merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan terbatas pada bidangnya masing-masing (Pasal 8 UU Kementerian Negara). Sementara itu, yang bertanggung jawab atas pengambilan kebijakan secara umum sekaligus memastikan orkestrasi semua kebijakan berjalan dengan baik adalah presiden sendiri sebagai satu-satunya atasan dari para menteri. Terlebih lagi, dalam sejumlah kesempatan, Presiden Jokowi menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan, hanya ada visi dan misi presiden, tidak ada visi dan misi menteri. Ungkapan itu menegaskan kembali bahwa sesungguhnya menteri hanya membantu melaksanakan kebijakan presiden.
Kedua, meskipun Presiden Jokowi menyampaikan kekecewaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan yang menurutnya tidak ada kemajuan signifikan, tetapi ia hanya merujuk pada rendahnya penyerapan anggaran sebagai satu-satunya penanda tidak maksimalnya kinerja kementerian. Presiden, misalnya, menyebutkan anggaran bidang kesehatan yang baru digunakan 1,53% dari total Rp 75 triliun yang tersedia. Meskipun mengesankan adanya transparansi karena membuka data itu kepada publik, tetapi sesungguhnya tanpa data itu, fakta yang dilihat publik selama 4 bulan terakhir juga sudah menunjukkan bahwa Menteri Kesehatan telah gagal melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode penanganan Covid-19 ini.
Pasal 24 ayat (2) UU Kementerian Negara menentukan bahwa presiden dapat memberhentikan menteri karena alasan yang ditetapkan sendiri oleh presiden. Dengan demikian, seharusnya Presiden Jokowi dapat bertindak lebih awal untuk memberhentikan para pembantunya yang tidak dapat bekerja dengan baik dalam menangani situasi darurat. Membuka data penyerapan anggaran kementerian kepada publik ketika pandemi sudah memasuki bulan keempat dan memakan lebih dari 2.700 korban jiwa merupakan tindakan yang amat terlambat dan cenderung sia-sia.
Ketiga, pernyataan Presiden Jokowi yang terkesan menawarkan penerbitan Perppu dan Perpres apabila diminta, diperlukan, atau dibutuhkan, amat janggal dari perspektif hukum tata negara. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu. Dengan demikian, penerbitan Perppu sesungguhnya merupakan hak subjektif presiden dalam hal terjadi situasi genting dalam pemerintahan. Perppu tidak diterbitkan karena diminta, tidak pula untuk ditawarkan kepada menteri yang merupakan pembantu presiden untuk dibentuk sesuai kebutuhan.
Sama halnya dengan penerbitan Perpres, Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 menyatakan bahwa Perpres merupakan peraturan untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Selain itu, Perpres memiliki sifat atributif yang artinya melekat pada jabatan presiden. Ini bermakna, selain dibentuk karena diperintahkan oleh undang-undang, Perpres juga dapat diterbitkan atas dasar kebutuhan presiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan. Pembentukan Perpres sendiri pada dasarnya perlu mengikuti perencanaan yang sudah ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2020 tentang Program Penyusunan Peraturan Presiden Tahun 2020. Meskipun terbuka kemungkinan bagi presiden untuk menerbitkan Perpres di luar perencanaan dalam keadaan tertentu, tetapi hal itu menunjukkan tidak matangnya perencanaan regulasi yang disusun oleh pemerintah serta tidak konsistennya sikap Presiden Jokowi yang sering kali menyatakan ingin membatasi jumlah regulasi.
Pernyataan Presiden Jokowi yang menyiratkan pertanyaan kepada para menteri terkait kebutuhan Perppu dan Perpres tersebut justru menunjukkan presiden seperti menawarkan bantuan kepada para menteri, padahal seharusnya presiden-lah yang memimpin, memutuskan, dan menetapkan kebijakan apa yang akan diambil, sementara menteri bertugas untuk membantu, melaksanakan, dan menindaklanjutinya.
Atas hal-hal tersebut di atas, PSHK mendesak Presiden untuk:
- Bertindak cepat dan fokus dalam pengambilan kebijakan terkait penanganan Covid-19 dengan berbasis pada data serta pendapat dan pertimbangan para ahli terutama ahli di bidang kesehatan dan kesehatan masyarakat.
- Memberhentikan menteri-menteri dan/atau pejabat pejabat eksekutif lainnya yang minim capaian dan berkinerja buruk dalam periode penanganan Covid-19 serta menempatkan orang-orang yang kompeten dan menghargai ilmu pengetahuan sebagai penggantinya.
- Dalam jangka waktu ke depan, memperbaiki secara menyeluruh dan sistematis berbagai kelemahan manajemen regulasi, terutama dalam hal perencanaan serta monitoring dan evaluasi atas setiap peraturan perundang-undangan dalam lingkup eksekutif.