Presiden dan DPR kembali melakukan pembajakan demokrasi dengan membahas Revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) dalam waktu yang sangat singkat dan tergesa-gesa untuk mengesampingkan dua putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dan titik penghitungan syarat usia calon kepala daerah. Presiden dan DPR ditengarai hendak mengakumulasikan kekuasaan koalisi tambun antipilkada kompetitif hingga di level pemerintahan daerah dan menjaga agar putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep aman berkontestasi di Pilkada Jawa Tengah.
MK menghasilkan putusan yang cukup progresif untuk menegakkan free and fair elections, tetapi tak diacuhkan oleh pembentuk undang-undang. Pada Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024, MK menafsirkan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mulanya mengatur persyaratan ambang batas pengusungan pasangan calon kepala daerah berdasarkan kursi dan suara di DPRD, menjadi berdasarkan perolehan suara sah dalam pemilu pada provinsi/kabupaten/kota berdasarkan rasio jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap yang berlaku bagi partai politik yang sudah maupun belum memiliki kursi di DPRD. Sementara itu, pada Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024, MK menegaskan bahwa secara historis, sistematis, praktik, dan komparasi dengan pemilihan lain, syarat usia pencalonan kepala daerah dihitung dari penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan pasangan calon sebagaimana ditafsirkan secara bebas dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024.
Pembahasan Revisi UU Pilkada menambah daftar merosotnya mutu pembentukan legislasi periode 2019-2024 karena membajak demokrasi dan cita negara hukum secara ugal-ugalan dengan mempertimbangkan:
- Revisi UU Pilkada cacat prosedural. Pada aspek perencanaan, Revisi UU Pilkada tidak direncanakan dengan patut dalam Program Legislasi Nasional dan bersifat reaksioner semata-mata untuk menghadang dua Putusan MK yang berpotensi mencegah pembentukan koalisi tambun dan menghalangi pencalonan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah. DPR juga membonceng jalur Badan Legislasi yang disinyalir sebagai jalur “titipan” usulan legislasi inisiasi pemerintah, seperti yang ditemukan pada proses RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Penyiaran. Selain itu, pada aspek penyusunan dan pembahasan, Rapat Kerja Badan Legislasi DPR bersama Pemerintah dan DPD dilakukan secara mendadak dan pembahasan hanya menghabiskan waktu kurang dari 7 jam untuk sebuah aturan hukum yang signifikan menentukan kualitas demokrasi. Aksesibilitas dokumen perancangan (rancangan undang-undang, daftar inventarisasi masalah) tidak dapat ditemukan di kanal resmi DPR dan Pemerintah, bahkan tidak terdapat naskah akademik pendukung yang menjustifikasi pilihan kebijakan. Kondisi tersebut menutup sama sekali ruang partisipasi masyarakat sipil untuk mengakses dokumen perancangan dan memberikan saran dan masukan untuk dipertimbangkan secara bermakna.
- Secara substantif, DPR dan Presiden melakukan cherry picking dalam mengadopsi constitutional order MK. Ketentuan yang mengganggu keberlangsungan koalisi tambun antipilkada kompetitif dan menghalangi putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk melenggang dengan curang di Pilkada Jawa Tengah menjadi alasan dijagalnya putusan MK tersebut oleh DPR. DPR hanya mengadopsi klausul Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/202 secara parsial yang hanya ditujukan untuk partai non-DPRD untuk mengusung calon kepala daerah. Padahal, penting untuk membaca dan mengadopsi constitutional order secara utuh. Sejatinya, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024 dapat melepas belenggu paksaan bagi partai politik untuk bergabung dalam koalisi tambun ataupun keterpaksaan untuk mengusung kandidat tertentu yang tak sejalan dengan gagasan partai politik serta menghadirkan alternatif kandidat lain untuk berkontestasi melawan hegemoni keserakahan koalisi. Di sisi lain, sikap DPR dan Presiden tidak konsisten. Untuk undang-undang lain yang merupakan tindak lanjut dari Putusan MK, DPR dan Presiden tak membuka ruang penafsiran dan langsung mematuhi dan menjalankan putusan MK. Contohnya adalah putusan MK tentang pengujian UU Pemilihan Umum soal syarat mencalonkan diri menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang berdampak terbukanya jalan tol bagi putra sulung Presiden Joko Widodo , Gibran Rakabuming Raka.
- DPR dan Presiden salah kaprah memahami dan menafsirkan Putusan MK. Terkait dengan tafsiran pemeriksaan syarat usia, DPR dan Presiden seharusnya merujuk ke Putusan MK ketimbang Putusan MA, mengingat: (1) MK adalah the interpreter of the constitution dan batu uji pengujian di MK berlandaskan konstitusi, sedangkan pengujian di MA berlandaskan undang-undang. Oleh karena itu, tafsiran MK mengandung pagar-pagar konstitusional yang secara hierarkis harus dirujuk dalam memformulasikan undang-undang; (2) produk hukum yang dibahas adalah undang-undang, bukan peraturan KPU, sehingga putusan MK sudah semestinya menjadi rujukan utama DPR dan Presiden. Gagasan ini hendaknya dilandasi pertimbangan hukum, bukan sekadar preferensi fraksi semata; (3) membaca putusan MK tak sebatas amarnya saja, tetapi juga pertimbangan putusan yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisah dari amar putusan. Oleh karena itu, legal reasoning dalam putusan MK perlu diilhami dan dicerminkan dalam undang-undang, yaitu menempatkan syarat usia sebagai syarat administratif dihitung saat penetapan pasangan calon berdasarkan pendekatan historis, sistematis, praktikal, dan komparasi dengan pemilihan lain; (4) perlu mengingat asas lex posterior derogat legi priori, yaitu aturan hukum yang baru mengesampingkan yang lama. Dalam hal ini, putusan MK yang lebih baru mengesampingkan putusan MA yang terbit sebelumnya; (5) Presiden dan DPR yang terang-terangan tak mematuhi putusan MK adalah bentuk keangkuhan kekuasaan yang eksesif yang gagal total membawa cita-cita Republik tentang Negara Hukum (rechtstaat).
Presiden dan DPR secara telanjang menunjukkan pengangkangan konstitusi dan mengkhianati kedaulatan rakyat demi meningkatkan akumulasi kekuasaan dan konsolidasi elit politik hingga ke level pemerintahan daerah. Keangkuhan kekuasaan yang eksesif ini tak terbendung karena luruhnya mekanisme checks and balances, gagal disiplin membatasi dirinya sendiri, dan mengabdikan mandat kelembagaan demi kekuasaan. Pilkada 2024 telah didelegitimasi sejak awal melalui otokrasi legalisme yang mengacak-acak logika berpikir dan bangunan negara hukum. Kami menduga keras teladan jahat akan direplikasi oleh elit politik pusat maupun daerah demi mengamankan kekuasaan dan menyedot sumber daya di berbagai daerah saat pilkada.
Atas pembangkangan konstitusi dan demokrasi yang terus tergerus akibat ulah Presiden dan DPR, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengimbau, jika Presiden dan DPR mengesahkan Revisi UU Pilkada, maka kami mengajak untuk:
- Menolak Revisi UU Pilkada saat ini sebagai hukum karena secara aktif mengingkari nilai-nilai konstitusionalisme dan membangkang pada konsep Negara Hukum (rechtsstaat) sebagaimana amanat konstitusi;
- Bersolidaritas antara semua elemen masyarakat untuk kolonialisme gaya baru dalam bentuk tirani elit politik Presiden dan DPR dengan pembangkangan sipil dan memboikot Pilkada 2024.