Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Pembahasan RUU Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU Revisi UU TNI) harus segera dihentikan, karena sudah melanggar prosedur pembentukan Undang-Undang. Pelanggaran yang dimaksud adalah RUU Revisi UU TNI tidak sah menjadi RUU prioritas 2025. Hal itu berakibat secara hukum bahwa pembahasan RUU Revisi UU TNI tidak memiliki dasar hukum, sehingga harus segera dihentikan.
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang memuat RUU prioritas pada 2025 disahkan melalui Keputusan DPR RI Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 pada 19 November 2025. Pada Lampiran II Keputusan DPR RI itu tidak tercantum judul RUU Revisi UU TNI sebagai salah satu RUU yang diprioritaskan pada 2025. Bukan hanya tidak tercantum dalam Prolegnas 2025, RUU Revisi UU TNI juga tidak tercantum dalam 18 RUU prioritas pada RPJMN 2025-2029. Hal itu membuktikan bahwa dokumen teknokratik milik Pemerintah sendiri tidak menganggap revisi terhadai UU TNI menjadi kebutuhan prioritas.
Namun begitu, ternyata ada keinginan dari Menteri Pertahanan untuk menjadikan RUU Revisi UU TNI untuk masuk dalam Prolegnas 2025 dan segera diagendakan untuk dibahas. Hal itu terungkap dalam penyampaian paparan Panglima TNI, Agus Subiyanto, pada Rapat Kerja bersama Komisi I pada 13 Maret 2025, yang menyampaikan bahwa pada 7 Februari 2025, Menteri Pertahanan mengirimkan surat bernomor B/244/M/II/2025 kepada Ketua Komisi I, yang meminta agar RUU revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas 2025 dan Menhan mengajukan permohonan untuk mengagendakan pembahasan RUU revisi UU TNI.
Hal menarik lainnya dari Surat Menteri Pertahanan kepada Ketua Komisi I itu adalah dilampirkannya draft RUU Revisi UU TNI dan Naskah Akademik. Padahal dalam dokumen Prolegnas jangka menengah 2025-2029, RUU Revisi UU TNI adalah usul inisiatif dari DPR. Draft RUU dan Naskah Akademik yang dikirimkan Menteri Pertahanan kepada Ketua Komisi I itu patut dicurigai digunakan langsung oleh Komisi I dalam pembahasan. Hal itu mencederai fungsi legislasi yang dimiliki DPR, yang seharusnya mengimbangi, justru melayani kepentingan dari Pemerintah. Hal itu juga mengonfirmasi pola praktik yang sama terjadi di berbagai RUU yang diusulkan oleh DPR, di mana draft dan naskah akademik sudah disusun terlebih dahulu oleh Pemerintah.
Pengambilan keputusan RUU revisi UU TNI dilaksanakan pada Rapat Paripurna Pembukaan masa sidang DPR RI ke-13, pada 18 Februari 2025. Namun ada tiga kejanggalan dalam pengambilan keputusannya:
Pertama, pengambilan keputusan untuk memasukkan RUU Revisi UU TNI tidak masuk dalam agenda rapat paripurna. Secara tiba-tiba, Ketua Sidang pada saat itu, Adies Kadir (Wakil Ketua DPR RI, Fraksi Golkar), meminta persetujuan anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna untuk menyetujui dimasukannya RUU Revisi UU TNI dalam Prolegnas 2025 sebelum keseluruhan agenda rapat dilaksanakan. Dalam Tatib DPR, perubahan agenda rapat, termasuk rapat paripurna hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan kepada Badan Musyawarah paling lambat 2 hari sebelum rapat dilaksanakan (Pasal 290 ayat (2) Tatib DPR RI). Namun hal itu tidak dilaksanakan dalam kasus ini, terbukti sejak awal tidak ada agenda tersebut yang dibacakan oleh Ketua Rapat Paripurna.
Kedua, pertimbangan untuk memasukan RUU revisi UU TNI dalam Prolegnas 2025 justru adalah Surat Presiden Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025, padahal pertimbangan utama seharusnya berasal dari Badan Legislasi, bukan desakan dari Presiden melalui Surat Presiden tersebut.
Ketiga, keberadaan Surat Presiden itu pun janggal, karena isinya adalah penunjukan wakil Pemerintah untuk membahas RUU Revisi UU TNI, yang pada surat itu dikeluarkan, 13 Februari 2025, belum ada keputusan resmi DPR untuk menjadikan RUU Revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas 2025 atau diagendakan untuk dibahas. Seharusnya Surat Presiden penunjukan perwakilan pemerintah untuk membahas suatu RUU dikirimkan setelah ada keputusan DPR terkait kepastian pembahasan, atau bahkan ada surat resmi terlebih dahulu yang mengirimkan draft RUU dan Naskah Akademik kepada Presiden.
Catatan lain yang dapat menjadi dasar untuk mendorong penghentian pembahasan RUU Revisi UU TNI adalah pembahasan RUU yang tidak transparan karena DPR RI tidak mempublikasikan draft RUU Revisi UU TNI kepada publik melalui jalur resminya, termasuk melalui website resmi DPR RI. Hal itu berdampak kepada publik yang tidak dapat berpartisipasi penuh, karena tidak memiliki pengetahuan mendalam akan ketentuan-ketentuan yang sedang dibahas. Selain itu, pembahasan RUU Revisi UU TNI di luar Gedung DPR RI menjadikan pembahasan semakin tertutup dan membatasi akses publik untuk memantau. Praktik ugal-ugalan pembahasan RUU revisi UU TNI merupakan cerminan dari praktik legislasi pada 10 tahun terakhir, sehingga menjadi alarm kuat untuk masyarakat sipil dan akademisi untuk mengantisipasi praktik yang berulang dan lebih luas.