Melihat realitas pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum efektif menerapkan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi untuk memberi efek jera dan pemiskinan terhadap koruptor, sementara terdapat kebutuhan segera untuk menerapkannya, maka kajian komprehensif terhadap konsep perampasan aset tanpa pemidanaan tersebut menjadi amat relevan.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) Mahkamah Agung RI atas dukungan USAID CEGAH telah menyelesaikan riset restatement terkait perampasan asset tanpa pemidanaan dalam perkara tindak pidana korupsi, dan meluncurkan buku tentang “Penjelasan Hukum tentang Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi” hasil dari riset tersebut pada 25 April 2019.
Perampasan aset tanpa pemidanaan atau non-conviction based asset forfeiture (NCB asset forfeiture) adalah konsep pengembalian kerugian negara yang pertama kali berkembang di negara common law, seperti Amerika Serikat. Konsep ini bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak kejahatan tanpa terlebih dahulu menjatuhkan pidana pada pelakunya. Dalam NCB asset forfeiture, penegak hukum mencari metode lain untuk mengejar pelaku kejahatan selain hanya pemidanaan, yakni mengarah kepada hasil kejahatan (going for the money) dengan memotong langsung kepada pusat kejahatannya (head of the serpent). Mereka menggunakan konsep perampasan secara pidana dan perdata sebagai langkah awal. Paradigma penegakan hukum yang dilakukan saat itu tidak lagi sebatas pada pengejaran pelaku, melainkan juga melalui pengejaran terhadap ‘keuntungan’ ilegalnya (confiscate ill-gotten gains).
Kategori aset yang dapat dirampas menggunakan metode NCB asset forfeiture adalah aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau korporasi; aset yang diduga kuat digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana; aset lainnya yang sah sebagai pengganti aset tindak pidana atau aset yang merupakan barang temuan yang diduga berasal dari tindak pidana; kemudian juga mengenai aset yang dimiliki oleh setiap orang yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat membuktikan asal-usul perolehannya secara sah maka aset tersebut dapat dirampas. Sebagai catatan, meski perampasan aset telah dilakukan, namun tidak serta merta menghapus perbuatan pidananya.
Istilah NCB asset forfeiture memang belum dikenal jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga belum ada definisi yang jelas terkait ini. Dengan diluncurkannya buku ini semoga dapat menjadi rujukan sebagai bahan utama dalam penyusunan RUU perampasan Aset yang berjalan di DPR.