Jakarta (9/5/2019). Awal pekan ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mewacanakan pembentukan Tim Asistensi Hukum. Menurutnya, tim itu akan berada langsung di bawah Menko Polhukam dan ditugaskan meneliti ucapan, tindakan, dan pemikiran tokoh-tokoh tertentu yang dianggap melanggar hukum.
Selain itu, Wiranto juga menyatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas pihak-pihak yang membantu pelanggaran hukum pada masa pasca-Pemilu 2019 ini, termasuk dengan cara menutup media yang dinilai membantu melakukan pelanggaran hukum. Ia mengklaim, penutupan itu dilakukan demi keamanan nasional.
Menanggapi hal-hal di atas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai langkah Menko Polhukam membentuk Tim Asistensi Hukum bermasalah secara hukum karena alasan-alasan sebagai berikut.
Pertama, pembentukan Tim Asistensi Hukum tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang kuat. Menko Polhukam memiliki fungsi utama untuk mensinkronisasi dan mengkoordinasikan urusan kementerian di bawahnya, bukan mengeksekusi kebijakan hukum sendiri, terlebih kebijakan yang bermuara pada perampasan hak seseorang.
Kedua, pembentukan Tim Asistensi Hukum menimbulkan ketidakpastian hukum. Pernyataan Menko Polhukam bahwa pembentukan Tim Asistensi Hukum dimaksudkan untuk menindak tegas upaya pihak-pihak yang mendelegitimasi penyelenggara pemilu, justru dapat menciptakan kekacauan hukum. Argumen itu terkesan tidak menghargai prinsip due process of law serta keberadaan aparat penegak hukum yang ada. Tindak pidana dan pelanggaran pemilu telah diatur dengan jelas dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan lembaga-lembaga yang terlibat yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kepolisian, dan Kejaksaan. Sementara terkait tindak pidana lainnya, keberadaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan berbagai perangkat hukum pidana lainnya telah lebih dari cukup untuk menindak pelaku pelanggaran hukum.
Ketiga, pernyataan Menko Polhukam bahwa pemerintah akan menyasar tokoh-tokoh tertentu merupakan pelanggaran atas prinsip persamaan di hadapan hukum. Apabila dibentuk, Tim Asistensi Hukum berpotensi melakukan diskriminasi karena akan menggunakan instrumen penegakan hukum hanya terhadap pihak atau kelompok tertentu saja.
Keempat, pernyataan Menko Polhukam bahwa pemerintah akan mengkaji ucapan, tindakan, dan pemikiran sebagai dasar untuk melakukan penegakan hukum berpotensi membungkam kebebasan berpendapat. Sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945, setiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat maupun menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya. Selain itu, Pasal 23 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM juga telah menjamin setiap orang untuk bebas mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat—secara lisan atau tulisan, melalui media apapun—dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Sebaliknya, pembentukan Tim Asistensi Hukum justru akan membatasi ruang gerak masyarakat yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah.
Kelima, pernyataan Menko Polhukam bahwa pemerintah akan menutup media yang membantu melakukan pelanggaran hukum jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan pers. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah tegas menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. UU Pers juga melarang praktik pembredelan terhadap pers sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru. Oleh karenanya, dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh insan media hanya dapat diselesaikan melalui Dewan Pers dengan prosedur hukum yang ketat.
Berdasarkan kelima persoalan hukum tersebut, PSHK mendesak pemerintah, dalam hal ini Menko Polhukam, untuk segera membatalkan pembentukan Tim Asistensi Hukum .
Dalam menyikapi situasi pasca-Pemilu 2019, pemerintah harus senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum dengan cara menghormati segala mekanisme hukum yang ada serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, baik dalam bentuk pernyataan maupun tindakan.