Pidato kemenangan capres terpilih Joko Widodo yang disampaikan di hadapan pendukungnya, Minggu (14/7) lalu, berfokus pada pada lima prioritas kerja: (i) pembangunan infrastruktur; (ii) pembangunan SDM; (iii) mengundang investasi dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya; (iv) reformasi birokrasi; dan (v) penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran. Sementara itu, sektor hukum—baik soal pembenahan, pembangunan, maupun penegakan—tidak mendapatkan ruang dalam pidato itu.
Salah satu isu hulu dalam sektor hukum, yaitu pembenahan regulasi, sama sekali tidak disinggung. Padahal, persoalan utama yang menghambat keberhasilan program-program pemerintah selama ini adalah regulasi yang semrawut dan tumpang tindih. Data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memperlihatkan bahwa dalam rentang 2014 hingga Oktober 2018 saja, telah terbit 8.945 regulasi. Rinciannya, terdapat 107 Undang-Undang, 452 Peraturan Pemerintah, 765 Peraturan Presiden, dan 7.621 Peraturan Menteri.
Semua regulasi tersebut sebagian besar lahir pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Angka itu bukan sekadar menambah jumlah produk peraturan dari periode-periode pemerintahan sebelumnya, tetapi juga menimbulkan potensi tumpang tindih antarperaturan yang semakin besar. Pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang semakin bertumpuk untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi atas produk regulasi yang ada. Dampaknya, pelbagai akses terhadap pelayanan publik, termasuk fasilitas terkait kemudahan berusaha, menjadi terhambat.
Di tengah kuantitas produk regulasi yang terus bertambah, kualitas regulasi Indonesia justru masih membutuhkan peningkatan. Indeks Kualitas Regulasi terbitan Bank Dunia memperlihatkan bahwa skor mutu regulasi di Indonesia sepanjang 1996-2016 selalu berada di bawah 0 (dari skala -2,5 hingga 2,5). Indeks ini mengukur kemampuan pemerintah dalam membentuk dan mengimplementasikan kebijakan dan peraturan untuk mendorong pembangunan sektor usaha. Indonesia yang pada 2017 berada di ranking kelima se-Asia Tenggara dengan skor -0,01 (tertinggal jauh dari Singapura pada posisi pertama dengan skor 2,12) menunjukkan bahwa pembenahan hukum, khususnya regulasi, justru menjadi pekerjaan paling krusial untuk mewujudkan prioritas kerja yang dijabarkan dalam pidato Visi Indonesia.
Kebutuhan akan pembenahan regulasi tersebut sebetulnya telah dijabarkan dalam visi dan misi hukum Jokowi dan Ma’ruf Amin sebagai capres dan cawapres pada pemilu April lalu, dengan tawaran program kerja: ((i) memperbaiki proses harmonisasi regulasi; (ii) menyederhanakan regulasi dan menghindari terjadinya pengaturan yang berlebihan; dan (iii) memperbaiki regulasi agar lebih mendukung kreativitas dan kinerja, serta memberikan rasa aman dan rasa adil kepada masyarakat.
Dalam kesempatan debat capres pun, Jokowi menyatakan komitmennya untuk membentuk badan khusus untuk membenahi seluruh persoalan regulasi dalam rangka reformasi hukum yang berkelanjutan. Ide pembentukan badan khusus regulasi itu seharusnya bisa menjadi awal baru dalam pembenahan sektor hukum di Indonesia.
Namun, substansi dalam pidato Visi Indonesia justru memperlihatkan ketidaksesuaian dengan gagasan pembangunan hukum ke depan, termasuk mengenai absennya topik pembenahan regulasi.
Oleh karena itu, PSHK mendesak pemerintah di bawah kepemimpinan capres terpilih Jokowi untuk:
- Fokus pada pembenahan hukum dan sistem hukum di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada pemberantasan korupsi serta penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.
- Melakukan pembenahan regulasi dengan cara menentukan sektor prioritas sebagai objek penataan peraturan dan kebijakan serta membentuk badan regulasi nasional yang bertanggung jawab atas pengelolaan regulasi, mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi, di tingkat pemerintah pusat dan daerah.
Jakarta, 16 Juli 2019
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)