JAKARTA, 23/10/19 – Pidato pelantikan Presiden Joko Widodo hari Minggu (20/10) lalu serta komposisi kabinet yang diumumkan Rabu (23/10) ini menunjukkan bahwa agenda pemerintahan yang utama adalah untuk mengundang investasi. Arah kebijakan yang ramah terhadap investasi tentu perlu didukung dengan prasyarat adanya visi yang kuat dalam aspek penegakan hukum, antikorupsi, hak asasi manusia, dan kelestarian lingkungan.
Faktanya, dalam pidato hari Minggu lalu, Presiden Jokowi sama sekali tidak membahas empat aspek dasar tersebut. Presiden hanya menyinggung persoalan regulasi dalam kaitannya dengan pemberdayaan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta penciptaan lapangan kerja baru. Ketegasan Presiden untuk memberikan kepastian regulasi atas dua isu itu tentu merupakan langkah positif. Namun, gagasan untuk memilih instrumen omnibus law berupa RUU Pemberdayaan UMKM dan RUU Cipta Lapangan Kerja sebagai solusi haruslah disertai dengan basis bukti yang ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan.
Penyebutan hukum sebatas persoalan regulasi pada dua sektor tersebut menunjukkan cara pandang yang sempit dalam memahami konsep negara hukum. Seolah-olah, persoalan hukum hanya sebatas pembenahan regulasi dan penyederhanaan perizinan. Melalui regulasi, hukum dipandang sebagai pelumas untuk memperlancar investasi. Pidato Presiden Jokowi tak sedikit pun menyasar persoalan substansif, seperti politik hukum nasional dan reformasi kelembagaan hukum. Padahal, pembentukan sistem hukum nasional, seperti pembaruan materi hukum warisan kolonial dan pemberdayaan institusi hukum, merupakan salah satu tujuan Visi dan Arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005–2025.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan komposisi kabinet pada bidang hukum, Presiden Jokowi tidak menunjukkan terobosan positif sama sekali untuk memperbaiki sektor penegakan hukum dan hak asasi manusia. Pemilihan nama Yasonna Laoly untuk kembali duduk di posisi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia jelas merupakan pilihan keliru. Menhukham Yasonna berperan besar dalam proses pembentukan sejumlah RUU bermasalah pada akhir periode lalu, termasuk RUU KPK, RKUHP, dan RUU Pemasyarakatan. Selain itu, permasalahan narapidana bebas keluar masuk lapas yang terus berulang sesungguhnya juga merupakan tanggung jawab Menhukham Yasonna, dan hingga kini tidak ada langkah penanganan tegas yang telah ia lakukan.
Selain itu, hingga komposisi kabinet telah diumumkan, Presiden Jokowi juga belum merealisasikan janjinya untuk membentuk badan khusus yang akan bertanggung jawab melakukan pembenahan regulasi. Padahal, rencana pembentukan lembaga itu telah berulang kali disampaikan dalam berbagai kesempatan sejak masa kampanye bulan Januari lalu. Bukan tidak mungkin, absennya badan khusus regulasi ini akan mengakibatkan berulangnya persoalan manajemen pembentukan peraturan perundang-undangan yang selama ini telah mengakar.
Berdasarkan situasi-situasi tersebut, PSHK berpandangan bahwa wajah Pemerintahan Jokowi Jilid II sejauh ini belum berhasil menghadirkan optimisme baru, khususnya dalam bidang hukum. Pembangunan sektor ekonomi seharusnya dilakukan seiring sejalan dengan pembangunan sektor hukum. Memisahkan keduanya, atau bahkan membuat keduanya saling menegasikan, merupakan logika yang amat keliru. Pertumbuhan ekonomi perlu dikejar secara bertanggung jawab. Pembangunan tanpa keberpihakan pada agenda hukum, hak asasi manusia, dan kelestarian sumber daya alam, akan membuat nilai-nilai demokrasi yang menjadi prinsip negara ini akan semakin tergerus, dan bukan tidak mungkin bisa menjerumuskan negara ini kepada otoritarianisme.