Drama “pembangkangan” birokrat Kesekjenan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terjadi pada tahapan verifikasi administrasi partai politik peserta Pemilu 2014 adalah kabar yang cukup mengejutkan. Peristiwa ini menunjukan buruknya relasi antara komisioner KPU yang dipilih dengan UU Penyelenggara Pemilu dengan birokrasi kesekjenan KPU di satu sisi. Di sisi yang lain, menunjukan lemahnya institusi KPU dalam penyelenggaraan pemilu secara mandiri dan independen.
Pembangkangan birokrat di dalam suatu lingkup organisasi pemerintah tentu bukanlah hal yang biasa. Hal ini dapat diartikan sebagai penolakan untuk melakukan pelayanan publik, mengancam keberlangsungan penyelenggaran pemilu dan pelanggaran etika sebagai pegawai negeri sipil. Jika dianalisis lebih jauh, persoalannya dapat bermuara pada upaya pelemahan KPU akibat ketidakjelasan rentang hierarki dan kewenangan komisioner KPU di dalam melakukan fungsi rekrutmen birokrasi kepemiluan, penguatan organisasi, dan kontrol atas pelaksanaan tugas-fungsi serta kinerja kesekjenan KPU.
Kementerian pemerintahan terkait dengan stakeholder kepemiluan harus mengambil langkah yang bijak untuk menyelesaikan persoalan ini sehingga tidak berlarut dan merembet menjadi persoalan laten yang akan mempengaruhi penyelenggaran pemilu baik di tingkat KPU pusat hingga penyelenggaraan pemilu di tingkatan daerah.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu telah memberikan kewenangan kepada komisoner KPU untuk secara kolegial mengambil keputusan strategis terkait penyelenggaraan pemilu, termasuk di dalamnya penguatan aspek kelembagaan KPU hingga ke tingkatan KPU di daerah. Pasal 66 menyatakan tugas sekretariat jenderal adalah membantu dan memberikan dukungan teknis administratif serta bertanggung jawab setiap penyelenggaraan pemilu ke Ketua KPU.
Di samping itu, rekrutmen pegawai kesekjenan dan kesekretariatan KPU seharusnya proses yang krusial untuk memilih sumber daya manusia terbaik yang akan membantu sistem pendukung penyelenggaran pemilu yang profesional, berkualitas, dan berintegritas. Untuk mewujudkan hal tersebut, pelaksanaan rekrutmen pegawai KPU harus memiliki kriteria kapasitas, kompetensi serta motivasi yang sejalan dengan suksesnya pemilu. Jika proses rekrutmen masih belum independen dan mandiri; bergantung pada kementerian pemerintah bahkan dapat mengintervensi secara hierarkis fungsi komisioner KPU, maka etos kerja penyelenggaraan pemilu akan buruk, lamban, dan tidak efektif terutama karena masih dibayang-bayangi oleh dualisme kepemimpinan di birokrasi.
Sistem etik dan penilaian kinerja di internal KPU harus lebih ditingkatkan dengan peningkatan kompetensi pengetahuan dan kecakapan di dalam penyelenggaraan kepemiluan yang memiliki karakteristik khusus, berbeda dengan penyelenggaraan birokrasi konvensional. Untuk mendukung hal ini, KPU perlu memiliki standar prosedur internal untuk penilaian kompetensi kerja dan standar pelaksanaan etika sesuai dengan karakter KPU.
Selain sebagai penyelenggara setiap tahapan pemilu yang membutuhkan pengetahuan dan keahlian teknis, KPU juga bekerja dengan berbagai pihak sebagai stakeholder kepemiluan, yaitu penyelenggara pengawasan pemilu, partai politik, dan kandidat, pemilih juga publik secara luas. Peningkatan sistem etik, kompentensi, dan kinerja KPU akan mempengaruhi kepercayaan publik atas KPU termasuk semua keputusan yang dihasilkan KPU terkait penyelenggaraan pemilu.
Komisioner, sebagai wakil publik yang dipilih secara profesional melalui serangkaian proses administrasi dan politik seharusnya dapat bekerja profesional dan menjadi figur pemimpin yang patut menjadi teladan. Buruknya komunikasi antara kesekjenan KPU dan komisioner KPU juga harus diselesaikan dengan memperbaiki pola komunikasi yang lebih berwibawa, menghargai struktur dan tata laksana kelembagaan yang solid dengan semangat kemitraan untuk mengsukseskan penyelenggaran pemilu. Pola komunikasi yang buruk tidak saja dapat melemahkan koordinasi dalam pelaksanaan kerja, melainkan juga dapat menciptakan suasana kerja yang tidak kondusif.
Terkait “konflik” antara kesekjenan KPU dan komisioner KPU, kami Koalisi Amankan Pemilu 2014 menyatakan sebagai berikut:
KPU harus menggunakan momentum ini untuk melakukan koordinasi dengan instansi pemerintahan terkait dan merumuskan sistem rekrutmen sistem pendukung KPU yang berbasis kompetensi kepemiluan dan profesional. KPU harus secara mandiri melakukan rekrutmen secara independen tanpa tekanan dari instansi lain.
Dalam waktu dekat KPU harus membuat sistem penilaian kompetensi internal, penerapan etika penyelenggaraan dan sistem kinerja internal, untuk secara objektif menilai kualitas kerja birokrasi KPU.
Apabila terbukti ada tindakan kesengajaan dari internal birokrasi KPU untuk melakukan pembangkangan sehingga mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu, maka KPU perlu mempertimbangkan untuk mengganti oknum yang bersangkutan demi keberlanjutan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu.