JAKARTA (20/01/2020) – DPR telah menetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 berisi daftar 54 RUU yang diprioritaskan pembahasannya dalam setahun ke depan. Tercatat sejumlah RUU dengan status carry over atau kelanjutan dari periode sebelumnya, yaitu RUU KUHP, RUU Perubahan atas UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, RUU Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, dan RUU Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Patut kita iingat bahwa tiga dari empat RUU itu, yaitu RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba merupakan sebagian RUU yang ditunda pengesahannya pada akhir periode lalu karena adanya penolakan keras dari publik, yang salah satunya tercermin dari demontrasi besar-besaran pada September 2019. Oleh karenanya, DPR dan Pemerintah harus memanfaatkan masa awal periode ini untuk mengakomodasi kepentingan maupun masukan dari pihak-pihak yang akan terdampak oleh tiga RUU itu sebelum memutuskan apakah RUU akan disahkan atau tidak menjadi undang-undang.
Di luar tiga RUU yang berstatus carry over tersebut, satu RUU lain yang sejak periode lalu diwaspadai keberadaannya oleh publik dan kini masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020 adalah RUU Keamanan dan Ketahanan Siber. Selain substansinya yang dianggap berpotensi melanggar hak privasi dan kebebasan berekspresi, pembahasan RUU KKS juga dinilai oleh sejumlah kelompok masyarakat sipil tidak cukup transparan karena minim pelibatan pemangku kepentingan.
Lebih jauh, sejumlah catatan terkait penetapan Prolegnas Prioritas Tahun 2020 harus menjadi perhatian bersama, baik bagi DPR, Pemerintah, maupun masyarakat secara umum. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberikan beberapa catatan sebagai berikut.
Pertama, jumlah RUU masih terlalu banyak dan tidak realistis untuk diselesaikan dalam satu tahun. Bercermin dari pengalaman periode 2014-2019, target penyelesaian 50 RUU dalam satu tahun tidak pernah tercapai. Pada 2017, DPR dan Pemerintah hanya berhasil menyelesaikan 6 RUU, sementara pada 2018 hanya 5 RUU yang berhasil disahkan. Terakhir, pada 2019, dari target 55 RUU, DPR dan Pemerintah hanya dapat menuntaskan 14 RUU. Masih tingginya target penyelesaian RUU pada 2020 ini menunjukkan bahwa DPR dan Pemerintah tidak melakukan refleksi atas kinerja legislasi mereka selama ini. Selain itu, jumlah RUU Usulan DPD dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 yang hanya satu, yaitu RUU Daerah Kepulauan, menunjukkan bahwa DPR masih belum secara optimal mengakomodasi kepentingan daerah yang diwakili oleh DPD.
Kedua, substansi sejumlah RUU berpotensi saling beririsan, saling tumpang tindih, atau tidak memiliki urgensi untuk diatur dalam undang-undang. Beberapa RUU yang berpotensi memiliki irisan ataupun tumpang tindih subtansi, yaitu RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Potensi tumpang tindih substansi tidak hanya di antara kedua RUU itu, tetapi juga dengan undang-undang lain yang sudah ada, salah satunya UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Sementara itu, beberapa RUU lainnya patut dipertanyakan terkait urgensi pengaturannya dalam undang-undang; seperti RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, RUU Kefarmasian, RUU Pendidikan Kedokteran, RUU Profesi Psikologi, serta RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama. Sebatas menilai dari judulnya, substansi sejumlah RUU itu bisa jadi telah diatur secara umum di dalam beberapa undang-undang yang telah ada, seperti UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Pendidikan Tinggi, UU Hak Asasi Manusia, maupun KUHP. Oleh karena itu, DPR dan Pemerintah seharusnya tak hanya menyajikan daftar judul RUU tetapi juga menyediakan Naskah Akademik dan draf setiap RUU yang dapat diakses oleh publik. Sehingga, publik dapat dengan jelas menilai apakah substansi serta materi muatan yang diatur dalam RUU itu cukup layak untuk ditempatkan dalam level undang-undang.
Ketiga, Prolegnas Prioritas Tahun 2020 mencantumkan 4 RUU sebagai omnibus law, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Ibukota Negara, dan RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang diajukan oleh Pemerintah, serta RUU Kefarmasian yang diajukan oleh DPR. Memasuki awal periode kedua Pemerintahan Joko Widodo ini, omnibus law seolah menjadi jargon bagi Pemerintah dan DPR untuk mengatasi berbagai persoalan regulasi di sejumlah bidang. Baik DPR maupun Pemerintah mempromosikan karakteristik omnibus law yang proses pembentukannya cenderung singkat serta mampu membatalkan atau mengubah banyak peraturan sekaligus. Padahal, “keunggulan” dari sisi prosedural tersebut justru dapat menimbulkan kerugian di sisi lain, terutama dalam hal substansial, seperti minimnya pelibatan masyarakat dalam proses pembahasan ataupun potensi penghapusan ketentuan perundang-undangan yang selama ini melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia, kelestarian lingkungan hidup, serta tata kelola pemerintahan yang baik.
Berdasarkan ketiga catatan tersebut, PSHK mendorong hal-hal sebagai berikut:
- DPR dan Pemerintah harus menjadikan Prolegnas 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas Tahun 2020 tidak hanya sebagai kumpulan judul RUU, tetapi sebagai rujukan perencanaan serta politik legislasi DPR dan Pemerintah selama satu periode. Ke depan, DPR dan Pemerintah harus senantiasa memperbaiki mekanisme penyusunan Prolegnas agar target capaian dapat dibuat lebih realistis serta sesuai dengan kebutuhan aktual masyarakat. Selain itu, dengan jumlah target capaian yang tinggi, DPR harus membuka kepada publik RUU mana saja yang menjadi prioritas utama untuk dibahas dan diselesaikan oleh setiap Komisi.
- DPR dan Pemerintah harus meninggalkan paradigma bahwa RUU adalah solusi atas setiap persoalan. Paradigma itu selama ini telah mengakibatkan jumlah undang-undang terus bertambah dan dengan jumlah yang semakin banyak, potensi pengaturan yang saling tumpang tindih akan semakin meningkat. DPR dan Pemerintah harus membenahi sistem pembentukan undang-undang, salah satunya dengan membuat pembatasan yang jelas mengenai substansi dan materi muatan undang-undang. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui proses perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara komprehensif, meskipun telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.
- DPR dan Pemerintah harus meninggalkan anggapan bahwa omnibus law dapat menyelesaikan persoalan regulasi dalam berbagai bidang. Sebagai salah satu bentuk dan mekanisme pembentukan, omnibus law sesungguhnya tidak memiliki perbedaan substansial dengan undang-undang pada umumnya. Dengan demikian, DPR, Pemerintah, dan masyarakat sebaiknya tetap menjadikan substansi pengaturan undang-undang sebagai fokus utama. Selain itu, apapun mekanisme yang dipilih oleh DPR dan Pemerintah, proses pembahasan undang-undang harus selalu mengedepankan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik.