Jaksa Agung mengusulkan untuk dilakukan razia besar-besaran dan perampasan terhadap buku berpaham komunis. Pernyataan Jaksa Agung ini justru melegalisasi tindakan main hakim sendiri dan bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk UUD NRI 1945. Pernyataan Jaksa Agung tersebut merupakan preseden buruk dan mengancam praktik demokrasi di Indonesia.
Rezim kewenangan penyitaan oleh Kejaksaan terhadap barang cetakan, termasuk buku, sudah berakhir pasca UU 4/PNPS/1963 dinyatakan inkonstitusional oleh MK melalui Putusan Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa tindakan penyitaan terhadap buku seharusnya merupakan perintah dari putusan pengadilan, bukan sekadar hasil pengawasan Kejaksaan.
Pasal 30 ayat (3) huruf c UU 16/2004 tentang Kejaksaan menyatakan bahwa Kejaksaan melaksanakan kegiatan dalam pengawasan peredaran barang cetakan. Pasal 2 Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan terhadap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta Media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut kerap menjadi dasar pengawasan yang kemudian berujung pada penyitaan buku oleh Kejaksaan.
Ketentuan itu kemudian diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 107a UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang mencantumkan adanya sanksi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun bagi mereka yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme dalam berbagai bentuk dan perwujudan.
Dalam menegakan ketentuan pasal-pasal tersebut tidak dapat sembarangan dengan melakukan Razia besar-besaran, melainkan harus memperhatikan kepada aspek hukum acara, atau prosedur yang berlaku. Hal itu dilakukan untuk menghindari kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan. Selain itu, penyitaan suatu barang adalah bentuk dari upaya paksa atau pembatasan hak asasi seseorang yang sudah dijamin pemenuhannya oleh Konstitusi. Adapun prosedur yang dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 38 KUHAP yang menyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Dengan adanya Pasal 38 ini dalam KUHAP dapat dimaknai bahwa penyitaan oleh Kejaksaan dilakukan dalam konteks proses peradilan.
Kewenangan pengawasan terhadap barang cetakan yang dimiliki oleh Kejaksaan saat ini juga diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Dalam Pasal 69 ayat (3) menyebutkan bahwa Kejaksaan turut melakukan pengawasan terhadap substansi buku untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman umum. UU Sistem Perbukuan tidak menjelaskan tindak lanjut dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan. Ketentuan mengenai pengawasan itu akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, yang mana pembahasannya harus dilakukan secara akuntabel dan transparan agar kemudian tidak bertentang dengan Putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.
Peran Kejaksaan dalam pengawasan sistem perbukuan tidak tepat. Aparat penegak hukum seharusnya bertindak pasif menunggu adanya laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan terkait substansi buku. Yang lebih diperlukan dalam membangun pengawasan terhadap sistem perbukuan saat ini adalah menghidupkan ekosistem perbukuan, dengan mengaktifkan peran dari organisasi profesi yang berhubungan dengan penciptaan dan peredaran buku, seperti penulis dan penerbit. Organisasi profesi harus mampu untuk menciptakan mekanisme internal dalam membangun nilai-nilai, melakukan pengawasan, bahkan sampai kepada penindakan yang berdampak secara internal anggotanya. Mekanisme itu akan memicu terciptanya penilaian yang lebih obyektif karena menilai profesinya sendiri, dibandingkan melibatkan Kejaksaan yang sebenarnya tidak hidup dalam dunia perbukuan. Sistem pengawasan itu seperti halnya yang dibangun dalam dunia pers di Indonesia. Sedangkan penyelesaian secara pidana, yang dapat berakhir pada upaya paksa atau sanksi pidana, seharusnya merupakan cara paling terakhir (ultimum remidium).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendorong untuk Presiden Joko Widodo untuk:
- memberikan teguran kepada Jaksa Agung atas pernyataannya yang tidak mencerminkan perannya sebagai pimpinan tertinggi Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi penegak hukum;
- menyatakan bahwa penyitaan terhadap buku secara sewenang-wenang tanpa proses hukum adalah tindakan melanggar hukum, dan harus dihentikan; dan
- segera membentuk PP pelaksanaan UU Sistem Perbukuan, dengan meminimalisir peran Kejaksaan dalam pelaksanaan pengawasan dan memperkuat peran organisasi profesi terkait dengan pengawasan perbukuan, sehingga dapat terwujud ekosistem perbukuan yang kuat.
Narahubung:
Fajri Nursyamsi (0818100917)