Intensitas transaksi masyarakat Indonesia melalui platform digital menggunakan aplikasi di perangkat komputer (web-based application) dan telepon genggam (smartphone-based application) semakin tinggi sejak pandemi Covid-19. Kenaikan transaksi digital di Indonesia tercatat sebesar 49% atau senilai keseluruhan 30,31 miliar dolar AS per Januari 2021. Tingginya transaksi diiringi dengan tingginya potensi terjadinya sengketa, baik antara sesama pelaku usaha (Business to Business/B2B) maupun antara pelaku usaha dan konsumen (Business to Consumer/B2C). Opsi penyelesaian sengketa yang ada saat ini beragam; baik di sektor peradilan maupun nonperadilan; baik penyelesaian yang diinisiasi pelaku usaha secara internal maupun yang menggunakan pihak ketiga. Salah satu mekanisme yang perlu dikembangkan adalah online dispute resolution (ODR).
Kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan proyek ASEAN-Jerman PROTECT[i] menyampaikan hasil penelitian yang disampaikan dalam Diskusi Publik “Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution” pada Rabu, 16 Juni 2021 yang menggarisbawahi beberapa poin penting:
Pertama, terdapat perkembangan perspektif dalam memandang ODR yang sebelumnya merupakan alat bantu teknologi dalam penyelesaian sengketa menjadi prosedur penyelesaian sengketa itu sendiri. ODR sebagai alat bantu maupun ODR sebagai prosedur penyelesaian sengketa tidak hanya digunakan oleh sektor swasta, melainkan juga oleh lembaga peradilan dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
Kedua, ketentuan yang berkaitan dengan ODR di Indonesia sudah ada dan tersebar di berbagai regulasi termasuk regulasi sektoral. Namun, belum ada pengaturan yang secara komprehensif mengatur ODR.
Ketiga, praktik-praktik terbaik (best practices) ODR di beberapa negara dapat menjadi rujukan bagi Indonesia untuk melakukan pengaturan ODR yang lebih terintegrasi seperti yang sudah dilakukan Brasil, China, kawasan Uni Eropa, dan Britania Raya. Implementasi negara-negara tersebut menjadi pelajaran sebelum Indonesia menjajaki pengembangan ODR lintas batas dalam kerangka kerja sama regional ASEAN.
Keempat, implementasi ODR memunculkan beberapa tantangan, terutama dalam membangun kepercayaan konsumen, kerahasiaan dan pelindungan data pribadi. Ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain, belum tingginya kesadaran untuk menggunakan ODR, kurangnya aksesibilitas dan rendahnya literasi digital, belum terbangunnya infrastruktur yang ada, serta belum meratanya kapasitas sumber daya manusia yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen.
Professor Bernadette M. Waluyo dari Fakultas Hukum Unika Parahyangan menyebut bahwa di samping akses keadilan lewat ODR pada tahap pascabeli, yang terpenting adalah bagaimana meminimalisasi terjadinya sengketa pada tahap prabeli. Bernadette merekomendasikan sistem ODR ditempatkan sebagai tindak lanjut atas komplain dari konsumen terhadap pelaku usaha yang tidak ditindaklanjuti. Peneliti PSHK Muhammad Faiz Aziz dan Estu Dyah Arifianti memandang perlu adanya ketentuan yang melarang forum shopping agar setiap sengketa yang diselesaikan pada satu lembaga penyelesaian sengketa dan ODR tidak diajukan kembali ke lembaga lainnya.
Pandangan berikutnya datang dari dari Ivan Fithriyanto selaku Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Kementerian Perdagangan, yang menyampaikan bahwa konsep ODR telah diadopsi dalam bentuk pengaduan daring pada Portal Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag yang terintegrasi di 34 provinsi. Tulus Abadi, Ketua Harian Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti bahwa potensi konflik antara pelaku usaha dan konsumen dalam konteks transaksi digital sangat tinggi. Proses alternatif penyelesaian sengketa secara elektronik sangat diperlukan selain karena mampu memberi akses keadilan pada konsumen secara lebih luas dan cepat, juga membantu beban Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang hingga saat ini belum optimal perannya.
Sementara itu, Rofi Uddarojat yang mewakili idEA menyatakan bahwa ODR sudah diterapkan dalam kategori bisnis marketplace semisal lewat pusat resolusi, namun belum semua platform belanja daring mempunyai pusat resolusi karena perbedaan model bisnis. Inisiatif kajian pembentukan ODR juga disambut baik oleh Arkka Dhiratara dari Hukumonline. Menurutnya, penting memastikan desain platform itu akan jadi aplikasi pengaduan pada umumnya atau jadi bagian yang menindaklanjuti pengaduan dari aplikasi yang sudah ada. Oleh karenanya, kehadiran ODR harus jadi solusi atas masalah tersebut sepanjang diikuti dengan sosialisasi yang baik.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dan pendapat narasumber, PSHK memandang perlunya penguatan Online Dispute Resolution (ODR) dalam penyelesaian sengketa transaksi elektronik pelaku usaha dan konsumen bagi peningkatan akses terhadap keadilan bagi konsumen. Untuk itu, PSHK mendorong:
- perlunya penyiapan regulasi yang komprehensif mengenai ODR;
- pengembangan infrastruktur dan sistem teknologi ODR bagi lembaga peradilan maupun lembaga penyelesaian sengketa di luar peradilan yang andal, aman, dan bertanggung jawab yang dapat memudahkan akses konsumen terhadap keadilan;
- pengembangan kapasitas bagi penyelenggara ODR dan pelaku usaha;
- perlunya sosialisasi berkelanjutan bagi konsumen tentang penyelesaian sengketa elektronik yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pelaku usaha.
Paparan narasumber dalam Diskusi Publik “Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution” dapat diunduh melalui tautan di bawah ini.
[i] Proyek ASEAN-Jerman PROTECT didanai oleh Kementerian Federal Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ), Republik Federal Jerman, dan diimplementasikan oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH yang berupaya mewujudkan pasar yang mengakomodasi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara berimbang di negara-negara anggota ASEAN.