PERNYATAAN SIKAP PUSAT STUDI HUKUM DAN KEBIJAKAN INDONESIA (PSHK):
Putusan Pengadilan Negeri Medan untuk kasus Meilana yang didakwa melanggar pasal 156A KUHP pada tanggal 21 Agustus lalu menimbulkan reaksi di publik. Sebagian mengorganisir dukungan terhadap Meiliana dengan membuat petisi agar Komisi Yudisial memeriksa majelis hakim untuk kasus Meiliana serta meminta Polri untuk membuat perlindungan untuk saksi-saksi kasus persekusi. Hingga tulisan ini disusun, petisi tersebut telah mencapai 145 ribu penanda tangan. Kasus Meiliana ini sendiri berbuah pada kerusuhan yang mengakibatkan pembakaran 11 vihara dan kelenteng yang berada di Tanjung Balai, Sumatra Utara.
Rumusan dari pasal 156A ini yang digunakan majelis hakim PN Medan dalam memutus kasus Meiliana adalah sebagai berikut:
Pasal 156a KUHP sendiri menyebutkan,
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
- Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
- Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Rumusan yang luas dari pasal 156A yang luas ini mengakibatkan mudahnya mengkriminalisasi ekspresi-ekspresi individual yang lazim terjadi di masyarakat, sebagaimana kasus Meiliana. Patut dicatat bahwa berdasarkan data Indonesia Center for Criminal Justice Reform (ICJR), mayoritas terpidana dari dakwaan berdasarkan pasal 156A ini berasal dari kaum minoritas.
PSHK berposisi bahwa pangkal permasalahan dari kriminalisasi terhadap kaum minoritas ini berpangkal dari keberadaan pasal 156A KUHP ini sendiri. Dalam draf RKUHP per Juli 2018, definisi tentang penghinaan ini justru semakin diperluas.
Berdasarkan pasal 326, 327 dan 328 draf RKUHP unsur “dengan sengaja melakukan penghasutan untuk permusuhan” justru diganti dengan “penghinaan terhadap agama” sehingga maknanya diperluas. Dalam prakteknya, penggunaan pasal 156A dalam hukum acara ini kerap mengabaikan bukti persidangan sebagaimana terjadi di kasus Meilina serta luput dari konteks dinamika masyarakat yang plural.
Pada saat ini Pemerintah dan DPR sedang melakukan pembahasan RKUHP. Kasus Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan ulang tentang urgensi perluasan definisi penghinaan ini dalam peranancangan RKUHP baru kita kelak. Kriminalisasi untuk semua ekspresi ketidaksetujuan akan praktek beragama dari umat beragama lain akan mempersempit ruang demokrasi publik. Kasus Meilina seharusnya dilihat sebagai momentum bagi Pemerintah dan DPR yang sedang melakukan pembahasan RKUHP sebagai refleksi mengenai bagaimana penggunaan pasal tersebut oleh aparat penegak hukum,
Atas pertimbangan tersebut, PSHK mendesak agar:
- Pemerintah dan DPR merombak total rumusan pasal RKUHP tentang penghinaan agama dengan melakukan pengetatan tafsir dan makna pasal tersebut. Pemerintah dan DPR harus mampu mencari titik keseimbangan (proposionalitas) antara kebebasan untuk mengungkapkan kritik sah terhadap agama/praktek keagamaan dan perlindungan terhadap kesakralan tafsir agama/kehidupan beragama.
- Pemerintah dan DPR dalam perumusan pasal-pasal KUHP menggunakan argumentasi hukum yang berbasiskan data sehingga unsur-unsur dari delik pidana dalam KUHP merupakan refleksi dari permasalahan nyata yang terjadi di masyarakat.
Narahubung:
Gita Putri Damayana (0811-131274)