Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
RUU Perubahan Kedua UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“RUU Perubahan Kedua UU 12/11”) tengah memasuki tahap pembicaraan tingkat I yang dilakukan di Badan Legislasi DPR RI (Baleg). 7 April 2022, Pemerintah telah menyerahkan 362 DIM RUU Perubahan Kedua UU 12/11 kepada Baleg dalam Rapat Kerja. Dalam DIM yang disusun Pemerintah tersebut terdapat 210 DIM tetap, 24 DIM substansi, 17 DIM substansi baru, 64 DIM dengan perubahan redaksional, dan 47 DIM diusulkan untuk dihapus.
Pembahasan kali ini nampak akan mengulang pembahasan undang-undang sebelumnya yang dilakukan terburu-terburu. DIM Pemerintah langsung dibahas keesokan harinya, yaitu mulai pada 8 April 2022, dan berencana untuk lanjut pada Sabtu, 9 April 2022. Pembahasan ini direncanakan akan diselesaikan dalam waktu sangat singkat sebagaimana pernyataan Ketua Baleg yang menyatakan bahwa pembahasan RUU Perubahan Kedua UU 12/11 akan dikejar tayang sebelum penutupan masa sidang IV yang akan berakhir 15 April 2022. Hal ini didukung oleh pernyataan Ketua Baleg pada Rapat Kerja 7 April 2022 dan melihat pada pembahasan yang dilakukan setiap hari berturut-turut (Penyerahan DIM dari Pemerintah 7 April 2022, pembahasan DIM pertama 8 April 2022, dan akan dilanjutkan pada 9 April 2022).
Catatan dalam tahapan proses pembahasan RUU Perubahan Kedua UU 12/2011 terletak kepada belum dilaksanakannya ketentuan Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 yang memerintahkan DPR dan/atau Pemerintah menyebarluaskan draft RUU yang sedang dibahas. Sampai saat ini belum ada draf RUU yang tersebarluas secara resmi, bahkan dalam website dpr.go.id status pembahasan dari RUU ini belum masuk dalam pembicaraan tingkat I. Selain itu, Rapat Kerja yang dilakukan pada Jumat, 8 April 2022, walaupun sudah ditayangkan secara streaming, tetapi tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas tuli karena tidak dilengkapi dengan juru bahasa isyarat, closed caption, atau teks.
Proses pembahasan DIM RUU Perubahan Kedua UU 12/11 pada Rapat Kerja 8 April 2022 memperlihatkan kentalnya kepentingan birokrat ketimbang pembenahan masalah legislasi secara mendasar dan menyeluruh. Dari empat jam pembahasan, satu jam di antaranya digunakan untuk memperdebatkan DIM Nomor 35 mengenai ketentuan Pasal 9 ayat (5) RUU Perubahan Kedua UU 12/11 yang menegaskan peran koordinasi yang diemban oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dalam penanganan pengujian terhadap UU di Mahkamah Konstitusi. Di satu sisi, Pemerintah ingin menempatkan Kejaksaan dan Kementerian Perekonomian dapat juga menjadi koordinator untuk mewakili Pemerintah beracara di Mahkamah Konstitusi. Namun Dirjen Perundang-Undangan Kemenkumham yang hadir dalam Rapat Kerja Baleg tersebut menyikapi berbeda karena selama ini Kemenkumham yang menjadi perwakilan Pemerintah ketika bersidang di MK. Melihat belum bulatnya sikap Pemerintah, pimpinan Panitia Kerja akhirnya menunda pembahasan pasal tersebut.
Ketidakbulatan sikap Pemerintah juga tercermin dalam menanggapi DIM Nomor 91, 92, 93, dan 94 mengenai penguatan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Dalam draf RUU yang diinisiasi DPR, Kemenkumham melakukan harmonisasi peraturan; sebagaimana tugas dan fungsi dari Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan dalam DIM dari Pemerintah mengusulkan Pasal itu dihapus. Bahkan dalam pemantauan Rapat Kerja Baleg melalui streaming sempat terjadi perdebatan antar perwakilan Pemerintah dalam pembahasan Pasal tersebut. Hal tersebut menunjukkan masih ada ketidakbulatan suara dari Pemerintah mengenai apa yang tercantum dalam DIM, sehingga seharusnya DPR meminta Pemerintah untuk kembali membahas DIM secara internal dan kembali setelah ada kebulatan sikap.
Catatan penting lainnya adalah RUU Perubahan Kedua UU 12/11 terlihat sebagai jalan tol untuk melegitimasi metode omnibus dalam praktik legislasi di Indonesia. Seharusnya, metode omnibus dievaluasi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Di tengah upaya Pemerintah dalam melakukan reformasi regulasi, yang juga tercantum dalam RPJMN 2020-2024, materi perubahan dalam RUU Perubahan Kedua UU 12/11 sangatlah minim, tidak mendasar dan menyeluruh. Seolah-olah RUU ini hanya untuk memberikan karpet merah bagi praktik metode omnibus dan justifikasi preseden negatif dalam teknis pembentukan undang-undang.
Daripada melakukan praktik bongkar pasang UU berdasarkan kepentingan jangka pendek, RUU Perubahan Kedua UU 12/2011 seharusnya Pemerintah dan DPR menjadikan agenda ini sebagai ajang evaluasi dan mewujudkan reformasi regulasi. Adapun berbagai masalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang masih perlu diperhatikan dan seharusnya tercantum sebagai bagian dari perubahan RUU ini tidak nampak. Seperti perencanaan legislasi yang tidak sinkron dengan perencanaan pembangunan, materi muatan yang tidak sesuai dengan bentuk peraturan, adanya kondisi hiper regulasi, masih lemahnya pelaksanaan monitoring dan eksekusi rekomendasi dari hasil evaluasi peraturan perundang-undangan, dan kelembagaan pembentuk peraturan perundang-undangan yang bekerja parsial.
Selain itu, gagasan Presiden RI untuk membentuk Pusat Regulasi Nasional juga abai untuk ditindaklanjuti, padahal hal itu menjadi penting untuk menyelesaikan akar permasalahan proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bukan hanya metode omnibus, tetapi bagaimana proses legislasi dapat mewujudkan partisipasi yang bermakna bagi masyarakat tanpa terkecuali. Revisi Pasal 96 RUU Perubahan Kedua UU 12/2011 justru mempersempit ruang partisipasi masyarakat dengan melingkupi pengertian masyarakat sebagai “… orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi Rancangan Peraturan Perundang-Undangan”. Ketentuan itu berpotensi mendiskriminasi orang perorang atau kelompok yang dianggap tidak berkepentingan atau terdampak langsung, padahal ruang partisipasi harusnya dibuka untuk semua orang perorang atau kelompok sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan UUD NRI 1945. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 disebutkan bahwa partisipasi yang bermakna mencakup hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Dalam RUU Perubahan RUU 12/2011 baru masuk dalam pelindungan “hak untuk didengar”, sedangkan dua hak lainnya masih diabaikan. Bahkan dalam pelindungan hak untuk didengar pun masih belum peka terhadap kebutuhan aksesibilitas dari penyandang disabilitas, sehingga belum ada ketentuan yang memastikan adanya aksesibilitas dalam media dan cara pelaksanaan partisipasi masyarakat.
Merespon hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak :
- DPR dan Pemerintah dalam membahas tidak hanya fokus pada penambahan kewenangan yang tidak berdampak signifikan pada perbaikan sistem tata kelola peraturan perundang-undangan secara sistematis dan menyeluruh.
- DPR dan Pemerintah untuk menjadikan momentum pembahasan RUU Perubahan Kedua UU 12/2011 sebagai perwujudan agenda reformasi regulasi dan janji Presiden akan perbaikan regulasi di Indonesia;
- DPR dan pemerintah dalam membahas tidak hanya fokus pada penambahan kewenangan yang tidak berdampak signifikan pada perbaikan sistem tata kelola peraturan perundang-undangan secara sistematis dan menyeluruh;
- DPR dan pemerintah tidak mengulangi kesalahan yang terjadi saat revisi UU 12/2011 pertama dengan pembahasan terburu-buru, tidak transparan dan menghasilkan rumusan yang parsial dalam perbaikan sistem perundang-undangan;
- DPR dan pemerintah harus memasukkan pengaturan untuk memastikan pembentukan Pusat Regulasi Nasional sebagai upaya penataan kelembagaan dan integrasi fungsi dalam tata kelola peraturan perundang-undangan;
- DPR dan Pemerintah untuk tidak menjadikan Perubahan UU 12/11 hanya sebagai jalan tol untuk legalisasi metode omnibus dan justifikasi atas preseden negatif dari teknis pembentukan undang-undang;
- DPR dan Pemerintah untuk memastikan RUU Perubahan Kedua UU 12/2011 juga melaksanakan amanat perwujudan partisipasi yang bermakna sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang mencakup mencakup hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan;
- DPR untuk memastikan setiap pembahasan RUU Perubahan Kedua UU 12/2011 ditayangkan secara langsung secara streaming, dengan dilengkapi juru bahasa isyarat, closed caption, atau text sebagai akses bagi penyandang disabilitas tuli.